Langsung ke konten utama

Pendidikan Nasionalisme di Indonesia

Pendidikan nasionalisme di Indonesia sebenarnya telah diterapkan di Indonesia sejak lama dalam beberapa mata pelajaran seperti sejarah, pendidikan kewarganegaraan, pembiasaan upacara bendera, serta peringatan-peringatan hari besar nasional seperti Hari Kemerdekaan RI, Hari Kebangkitan Nasional, Hari Kesaktian Pancasila, Hari Pahlawan, dan sebagainya. Namun secara khusus pendidikan nasionalisme diajarkan melalui pendidikan kewarganegaraan. Di dalam pendidikan kewarganegaraan peserta didik diajarkan tentang nilai-nilai Pancasila sehingga dapat terinternalisasi dalam diri peserta didik. Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia mengalami beberapa kali perubahan.

Pada tahun 1960-an Presiden Soekarno melakukan upaya untuk menginternalisasikan nilai Pancasila dalam kerangka nation and character building. Upaya ini dilakukan untuk meng-Indonesiakan orang Indonesia sesuai dengan visi dan misi politik penguasa pada masa itu. Bahan-bahan yang digunakan untuk membentuk nation and character building ini tidak hanya tentang Pancasila dan UUD 1945, namun juga tentang padangan politik penguasa saat itu. Semangat nasionalisme yang digelorakan pada masa ini sangat tinggi. Selain diterapkan untuk masyarakat, nation and character building ini juga diterapkan dalam pendidikan formal melalui mata pelajaran civic.

Pergantian kepemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru membuat Indonesia mengalami perubahan kebijakan. Pemerintah Orde Baru menginginkan internalisasi nilai Pancasila dan nasionalisme dilakukan secara murni dan konsekuen terutama di jalur pendidikan formal. Pada tahun 1968 mata pelajaran civic dihilangkan dan diganti dengan Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) dengan materi Pancasila dan UUD 1945 tanpa pengaruh dari Orde Lama. Pada tahun 1975 PKN diganti menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Internalisasi nilai Pancasila tidak hanya diterapkan bagi pelajar, namun pada semua lapisan masyarakat melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). PMP pada tahun 1984 dan PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) pada tahun 1994 menjabarkan nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme yang telah diuraikan dalam P4. Selain diintegrasikan dalam mata pelajaran, P4 didesiminasi melalui penataran-penataran bagi mahasiswa dan masyarakat.

Memasuki masa reformasi, P4 dianggap sebagai upaya indoktrinasi sehingga P4 kemudian dihapuskan. Hal ini mempengaruhi muatan dan substansi kurikulum PPKn. Pada pendidikan tinggi, Pendidikan Kewarganegaraan mengalami perubahan yaitu tidak lagi memuat materi-materi yang berkaitan dengan Orde Baru. Di beberapa perguruan tinggi, Pendidikan Pancasila bahkan dihilangkan atau dileburkan menjadi satu dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Kurikulum PPKn dalam kurikulum 1994 yang sangat berorientasi pada nilai-nilai Pancasila diganti dengan kurikulum PKn 2004 dan 2006 yang bersifat konseptual teoretis. Kajian Pendidikan Kewarganegaraan menjadi semakin luas.

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Rumahku Madrasah Pertamaku"

Judul Buku : Rumahku Madrasah Pertamaku (Panduan Keluarga Muslim dalam Mendidik Anak) Penulis : Dr. Khalid Ahmad Syantut Penerbit : Maskana Media (Imprint Pustaka Rumah Main Anak) Cetakan : kedua, Januari 2019 Jumlah Halaman : 184 halaman Pertama kali melihat iklan masa PO buku ini, saya langsung tertarik untuk memesannya. Saya memang senantiasa tertarik pada buku parenting . Ketidaksempurnaan dalam diri saya membuat saya ingin terus memperbaiki supaya kelak saya bisa mendidik anak-anak sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul inginkan. Setelah menunggu selama kurang lebih dua minggu, akhirnya buku ini berada di pelukan saya. Desain dan layout buku yang menarik membuat saya ingin segera membacanya. Kemudian, saya bacalah buku ini, mengalahkan tumpukan buku lain yang belum sempat terbaca. "Rumahku Madrasah Pertamaku" begitulah judul buku ini. Sesuai dengan judulnya, buku ini mengingatkan saya kembali tentang betapa berpengaruhnya lingkungan rumah terhadap karakter a...

Review: Smart Hafiz Mempersiapkan Si Kecil Anti Smartphone

Akhir-akhir ini sering saya lihat anak-anak sudah susah terlepas dari gawai. Gawai yang mereka pakai biasanya jenis smartphone. Tak hanya anak-anak, balita bahkan batita juga sering saya lihat mulai menggunakan barang elektronik ini. Bagi saya, hal tersebut kurang mendidik. Anak-anak terutama balita seharusnya bermain untuk melatih kemampuan motorik mereka. Anak-anak yang lebih besar seharusnya bisa membangun interaksi dengan teman sebaya maupun orang di sekitarnya, bukan bersifat antisosial. Nah., latihan kemampuan motorik dan membangun kemampuan sosial ini yang tidak ditemukan dalam smartphone. Anak-anak cenderung pasif ketika menggunakan sartphone. Apalagi jika smartphone tersebut terhubung dengan internet. Anak usia 3 tahun pun bisa mengakses Youtube dan berselancar mencari video-video yang disukainya. Jika sudah terlanjur demikian, anak akan susah disapih dari benda bernama smartphone ini. Ketika kita ingin menyapih anak dari smartphone tantangannya lebih besar dibanding...

Review Rumah Main Anak

Judul Buku : Rumah Main Anak Penulis : Julia Sarah Rangkuti Penyunting :  Rizka Azharini, S. Kep. Penyelaras Akhir : Tyas Choirunnissa, S. Hum. Tata Letak : Jogja Layouter Tim Desain Sampul : Dyna Fitria, S. Si. Diterbitkan oleh : Sahabat Sejati Publishing Jumlah Halaman Buku : 334 halaman Cetakan, Tahun Terbit : 5, September 2017 Apa itu Rumah Main Anak? Saya mengetahui buku ini sejak awal masuk di kelas Bunda Sayang, Ibu Profesional. Waktu itu ada seorang teman yang merekomendasikan buku RMA untuk teman bermain anak-anak. Saya langsung tertarik dan membeli buku RMA ini lengkap dengan RMA edisi kedua. RMA yang akan saya review adalah RMA 1. Pertama kali saya melihat buku ini, saya tertarik pada desain sampulnya. Desain sampul sederhana tapi elegan. Sampul kuning di buku RMA 1 ini membuat kesan ceria sesuai dengan isi buku. Bayi saya yang sudah jatuh cinta pafa pandangan pertama, begitu tertarik pada sampul maka saya pun langsung tertarik ingin seger...