Rasa nasionalisme dalam diri bangsa Indonesia sebenarnya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Budi Oetomo sering disebut sebagai tonggak kelahiran nasionalisme bangsa Indonesia yaitu munculnya kesadaran bangsa Indonesia untuk bersatu melawan penjajah. Namun, sebelum Budi Oetomo lahir, nilai nasionalisme sudah mulai dikenalkan oleh tokoh wanita Indonesia yaitu R.A. Kartini. R.A. Kartini adalah tokoh Indonesia yang hidup pada zaman nasionalisme awal. Kartini berjuang sendirian tanpa bantuan dari organisasi. Kartini berjuang melawan poligami, mengecam konflik karena agama, dan memperjuangkan pendidikan bagi gadis “bumiputera”. Kartini menggunakan tulisan-tulisannya untuk memperjuangkan nilai-nilai yang dipertahankannya. Perjuangan yang dilakukan Kartini semata-mata untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia dengan cara menghilangkan diskriminasi pendidikan bagi kaum perempuan. Kartini menyatakan bahwa perempuan adalah soko guru peradaban. Kalimat ini adalah bagian dari cuplikan surat Kartini kepada Nyonya Abendanon pada tahun 1901. Perempuan sebagai soko guru peradaban dapat diartikan bahwa peran perempuan sangat besar dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Perempuan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam memburukkan atau membaikkan kehidupan. Perempuan inilah yang akan membantu memajukan kesusilaan manusia (Kartini dalam Yuliati, 2009). Pada zaman ini pemahaman tentang nasionalisme sangat minim di berbagai kalangan, namun Kartini memiliki semangat dan kepedulian yang sangat tinggi untuk memperbaiki kualitas rakyat “bumiputera” demi terciptanya suatu kehidupan yang lebih baik.
Penjajahan bangsa Belanda selama 3,5 abad sangat merugikan bangsa Indonesia dari berbagai sudut pandang. Rakyat “bumiputera” selalu dipandang rendah baik dari segi derajat kehidupan maupun pemberian upah kerja. Belanda melakukan eksploitasi sumber daya alam dan manusia selama berabad-abad melalui sistem tanam paksa (cultur stelseel). Sistem tanam paksa ini sangat merugikan rakyat karena sistem upah yang sangat rendah. Keadaan yang tidak kunjung berubah dalam diri rakyat “bumiputera” membuat Wahidin Soediro Hoesodo, seorang dokter Jawa, berusaha keras untuk mengangkat derajat bangsanya dengan memperjuangkan pengadaan studie fonds (dana pendidikan) untuk anak-anak bangsa yang cerdas tetapi tidak memiliki biaya pendidikan (Yuliati, 2009).
Selama kurun waku satu tahun, dr. Wahidin Soediro Hoesodo mempropagandakan program tersebut di berbagai tempat di Pulau Jawa. Program ini kemudian disambut secara antusias oleh siswa-siswa STOVIA (School tot Opleodong van Inlandsce Artsen) yang dilanjutkan dengan pendirian Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Soetomo dan rekannya Goenawan Mangoenkoesoemo. Pada awal berdirinya, Boedi Oetomo hanya diperuntukkan bagi rakyat Jawa dan Madura. Goenawan Mangoenkoesoemo (dalam Yuliati, 2009) menyatakan bahwa untuk mengajak suku-suku lain di Hindia Belanda, para pengurus Boedi Oetomo tidak memiliki keberanian mengingat usia mereka masih sangat muda. Mereka belum mengetahui sejarah dan kebudayaan suku-sukulainnya, dan mereka juga menduga bahwa suku-suku lainnya itu memiliki cita-cita yang berbeda dari orang Jawa. Walaupun demikian, apabila dilihat dari tujuannya, Boedi Oetomo telah memiliki tujuan skala nasional.
Tujuan Boedi Oetomo dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut.
Tujuan Boedi Oetomo adalah mengusahakan persatuan kaum Boemipoetera yang sedapat mungkin bersifat umum, sehingga akan tercapai Persatuan orang Jawa pada umumnya, dengan Boedi Oetomo hanya sebagai pelopor, yang tugas utamanya adalah untuk merancang cara-cara yang tepat untuk mencapai terwujudnya suatu pendidikan yang serasi bagi negara dan rakyat Hindia Belanda (Pengumuman Afdeeling Bestuur Boedi Oetomo dalam Yuliati, 2009).
Tujuan tersebut sangat membantu rakyat “bumiputera” dalam mengenyam pendidikan. Sebagai upaya untuk membantu rakyat “bumiputera” untuk melanjutkan pendidikannya di sekolah-sekolah menengah, pada tanggal 23 Mei 1910, Boedi Oetomo mengajukan petisi kepada pemerintah kolonial agar memberikan mata pelajaran yang sama seperti sekolah-sekolah Eropa. Dengan demikian anak bumiputera dapat melanjutkan pendidikannya di STOVIA dan sekolah hukum serta sekolah-sekolah lanjutan atau menengah, yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar (Nagasumi dalam Yuliati, 2009). Dalam bidang budaya, Boedi Oetomo juga memperhatikan masalah-masalah kesusasteraan, seni tari, seni musik, dan harapan para anggotanya.(Goenawan Mangoenkoesoemo dalam Yuliati, 2009). Beberapa surat kabar yang menjadi media Boedi Oetomo adalah Boedi Oetomo (terbit pada 1 Juli 1910), dan Goeroe Desa (terbit pada September 1910, sejak 1916 menjadi tengah bulanan), dan Darmo Kondo. Semua itu merupakan bentuk kesadaran akan harga dan identitas diri bangsa.
Selain sebagai motor pendidikan bagi rakyat “bumiputera” Boedi Oetomo juga dapat dikatakan sebagai tonggak utama kelahiran organisasi-organisasi modern. Setelah Boedi Oetomo mulai lahir berbagai organisasi modern yang memperjuangkan nasionalisme. Oleh karena itu, sampai saat ini hari lahirnya Boedi Oetomo yaitu tanggal 20 Mei dikenal sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Dalam sejarah Indonesia nasionalisme berkaitan dengan pergerakan kebangsaan Indonesia yang merupakan fenomena historis yang muncul sebagai jawaban (reaksi) terhadap gejala khusus yang kompleks yang ditimbulkan oleh situasi kolonial Belanda. Nasionalisme di Indonesia telah diawali dengan tumbuhnya upaya-upaya pencarian jatidiri oleh pemimpin masyarakat untuk memotivasi mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda (Mulyono, 2008: 34). Upaya-upaya ini kemudian dilanjutkan dengan pencarian identitas bangsa sebagai kekhasan untuk membentuk suatu negara yang merdeka.
[......]
#komunitaonedayonepost
#ODOP_6
Komentar
Posting Komentar
Thank you for visiting... 😁😁