Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2018

Asyiknya Belajar Bersama

Tidak terasa sudah 10 hari kami belajar bersama meningkatkan kecerdasan emosional. Perencanaan yang saya buat di awal tantangan ternyata bisa kami terapkan dengan baik, walaupun masih ada kendala dan kekurangan. Karena suami adalah orang yang tidak mau ribet, saya lah yang membuat rencana, melaksanakan, dan mengevaluasi. Suami lebih condong pada obyek belajar saya, padahal secara tidak sadar dia pun ikut belajar bersama saya. Kami tidak menemukan masalah yang berarti selama menjalankan proyek keluarga ini. Di setiap kendala, saya bisa mengambil hikmah yang kemudian saya gunakan sebagai bahan refleksi untuk hari berikutnya. Dan.. ternyata ini efektif lho,.. J . Akhir-akhir ini kami menjadi lebih sering diskusi serius (mungkin karena keadaan mengharuskan kami mulai serius membahas sesuatu). Kalau dulu setiap diskusi hasilnya menggantung, sekarang setiap diskusi ada kesimpulannya. Kami belajar memutuskan sesuatu melalui pertimbangan dan kesimpulan tersebut. Kalau saya sih.. suka bang

Perjuangan Hampir Dimulai

Setelah kemarin mengalami rencana yang tertunda, saya bertekad untuk merealisasikannya hari ini. Kebetulan suami pulang lebih cepat daripada biasanya. Ini pertanda baik. Dapat diartikan suami sedang dalam kondisi lumayan fit. Kondisi ini memungkinkan kami ngobrol lebih lama dan bermutu. Demi pillow talk yang efektif, saya memberikan ruang sebebas-bebasnya pada suami untuk beristirahat sepulang kerja. Dalam pembicaraan kami hari ini, terdapat beberapa point penting yang kami putuskan. Setelah beberapa hari sebelumnya masih menimbang-nimbang dalam membuat keputusan, akhirnya hari ini kami membuat keputusan yang cukup besar dalam kacamata keluarga kami. Allah Sang Maha Pengatur Rezeki Sejak memutuskan untuk resign dari pekerjaan usai menikah, saya sangat berusaha tetap positif thinking bahwa Allah sudah mengatur rezeki untuk kami. Alhamdulillah, semua terasa cukup walaupun hanya suami yang bekerja. Dalam hati, saya masih berkeinginan untuk kembali bekerja demi membantu s

Rencana yang Tertunda

Dalam membangun pondasi keluarga, tentu ada banyak sekali yang harus kami persiapkan. Kami mulai enjoy belajar mengelola emosi, dan mulai dapat mengesampingkan egoisme masing-masing. Dari hasil evaluasi program kemarin, PR saya adalah bersama dengan suami membuat aturan yang berlaku di rumah. Aturan yang bukan hanya formalitas saja. Namun, aturan yang mendukung suasana nyaman dalam rumah serta harus dilakukan oleh semua penghuni rumah. Biasanya, si pembuat aturan adalah saya. Suami terima jadi dan tinggal menjalankan saja. Beberapa aturan yang dibuat secara sepihak itu memang ada yang sudah berjalan dengan baik. Tapi, tak jarang suami protes dulu sebelum dengan terpaksa mulai mengikuti aturan yang saya buat. Kemampuannya mengelola emosi dalam menghadapi saya yang ribet memang dinilai cukup baik. Beberapa aturan sederhana yang berhasil saya buat dan sekarang sudah diterapkan suami dengan baik adalah:   Menaruh pakaian kotor di ember cucian   Menggantungkan baju yang hendak

Bagaimana Keefektifan Proyek Keluarga Kami?

Masih tentang proyek keluarga “Membangun Pondasi Peradaban” di mana peningkatan kecerdasan emosional menjadi fokus dalam proyek ini. Proyek ini masih berjalan dan terus berjalan dengan mengikutsertakan jenis kecerdasan yang lain. Karena kami masih sama-sama belajar, maka waktu belajarnya bisa jadi akan lama. Tulisan ini hanya awalan ketika kami mulai menjalankan perubahan menjadi pribadi yang lebih baik, sehingga kelak bisa menjadi orang tua yang lebih bijaksana bagi anak-anak. Pernikahan kami masih dalam hitungan bulan, masalah rumah tangga yang timbul lebih sering akibat perbedaan yang melekat dalam diri kami masing-masing. Hal ini menjadi pelajaran pertama sekaligus yang paling dasar untuk kami selesaikan bersama-sama. Perubahan status yang semula berdiri sendiri, menjadi suami atau istri, kemudian akan berubah menjadi ayah dan ibu membuat kami benar-benar harus ekstra belajar. Tidak ada orang tua baru yang langsung mahir mengurus semua urusan rumah tangga dan anak, tapi kami

Menghindari Feeling Blue

Di hari keenam ini, proyek keluarga kami tidak berjalan sesuai rencana. Suami pulang kerja lebih sore daripada biasanya dan raut mukanya sudah menunjukkan kelelahan yang sangat. Sebenarnya saya paling BT ketika suami pulang dalam keadaan lemas, karena apa saja yang saya katakan responnya akan sekenanya atau singkat-singkat. Padahal saya butuh mengeluarkan puluhan ribu kata setiap hari. Pun demikian, saya juga tidak bisa menyalahkan suami, karena ia sudah bekerja dari pagi hingga sore dan menempuh perjalanan puluhan kilometer. Menerapkan Hasil Introspeksi Diri Beberapa hari yang lalu, saya berhasil introspeksi diri salah satunya saya harus menghindarkan ego. Dalam rangka meningkatkan kecerdasan emosional diri, saya mencoba untuk tidak membalas muka lelah suami dengan mimik kurang ceria. Saya juga mencoba menawarkan bantuan untuk membuatnya lebih baik, atau setidaknya lelahnya sedikit berkurang. Menjelang magrib, suami masih merespon saya dengan cukup baik, artinya tidak sekenan

Menghindari Feeling Blue

Di hari keenam ini, proyek keluarga kami tidak berjalan sesuai rencana. Suami pulang kerja lebih sore daripada biasanya dan raut mukanya sudah menunjukkan kelelahan yang sangat. Sebenarnya saya paling BT ketika suami pulang dalam keadaan lemas, karena apa saja yang saya katakan responnya akan sekenanya atau singkat-singkat. Padahal saya butuh mengeluarkan puluhan ribu kata setiap hari. Pun demikian, saya juga tidak bisa menyalahkan suami, karena ia sudah bekerja dari pagi hingga sore dan menempuh perjalanan puluhan kilometer. Menerapkan Hasil Introspeksi Diri Beberapa hari yang lalu, saya berhasil introspeksi diri salah satunya saya harus menghindarkan ego. Dalam rangka meningkatkan kecerdasan emosional diri, saya mencoba untuk tidak membalas muka lelah suami dengan mimik kurang ceria. Saya juga mencoba menawarkan bantuan untuk membuatnya lebih baik, atau setidaknya lelahnya sedikit berkurang. Menjelang magrib, suami masih merespon saya dengan cukup baik, artinya tidak sekenan

Tantangan untuk Suami

Dalam mengerjakan tantangan Bunsay IIP saya masih fokus pada peningkatan kecerdasan emosional antara saya dan suami. Kalau kemarin-kemarin saya lebih fokus pada pencapaian diri, sekarang gantian saya yang memberikan tantangan pada suami untuk meningkatkan kecerdasan emosionalnya. Tantangan ini memang jangka menengah, tapi saya kira suami butuh di sounding terus supaya kelak ia benar-benar sukses menjalankan tantangan ini. Apa Bentuk Tantangan Saya untuk Suami? Malam Minggu kemarin, kami berkomunikasi via telepon dengan Ibu dan Bapak sampai larut malam. Pembicaraannya banyak, sampai akhirnya membahas rencana lahiran saya. Eh., tiba-tiba saja suami nyeletuk pada Ibu, katanya ia gak tega jika nanti harus menemani persalinan. Takut trauma, takut sedih liat saya kesakitan, takut pingsan, dan banyak alasan lainnya yang ia sampaikan pada Ibu. Ya karena ngomong begitu sama Ibu saya, jelas saja Ibu saya lebih membela suami daripada saya. Kata Ibu, “Biar suami di luar aja terima jadi.

Belajar dari Pengalaman Bapak dan Ibu

Proyek keluarga kali ini secara tidak sengaja mendapat bantuan inspirasi dari pengalaman Bapak dan Ibu. Ceritanya, Bapak dan Ibu sedang kurang sependapat dengan satu hal. Bapak menginginkan sesuatu yang sudah sangat lama beliau impikan. Namun, Ibu belum sepenuhnya ikhlas karena biaya yang dibutuhkan cukup besar. Kata Ibu, beda pendapat tersebut mengakibatkan suasana rumah menjadi berbeda dari biasanya. Hal ini dulu beberapa kali pernah terjadi. Bapak memang tipe lelaki yang keras, dan kalau punya keinginan kuat bagaimanapun harus terlaksana. Untungnya keinginan Bapak lebih banyak keinginan positif, dibanding negatif. Setelah sekian tahun tidak beda pendapat dalam urusan besar, kali ini terulang kembali. Kami sebagai anak yang sudah dewasa dan paham kemudian menjadi penengah supaya masalah tersebut tidak berlarut-larut. Apa Hikmah yang Dapat Saya Ambil? Mungkin ini yang dinamakan jodoh. Dulu ketika menikah saya bercita-cita memiliki suami seperti Bapak. Dan benar saja, beberap

Usaha Menyamakan Frekuensi

Proyek keluarga kami masih tentang membangun pondasi peradaban yang berkaitan dengan kecerdasan emosional. Sepertinya butuh waktu untuk meningkatkan kecerdasan emosional secara signifikan, karena sampai saat ini masih ada banyak hal yang berbeda frekuensi antara saya dan suami. Berbeda frekuensi maksudnya ketidaksepahaman, dalam diri kami masing-masing masih susah untuk membuka dan tukar pikiran. Saya masih susah masuk di pikiran suami, demikian pula sebaliknya. Perbedaan kesepahaman di antara kami sebenarnya bukan pada hal-hal mendasar, justru pada hal sepele namun sering bikin geregetan. Mulai dari Koleksi Buku sampai Bedak Bayi Bakda Isya menjadi moment yang selalu ditunggu setiap harinya. Pikiran sudah santai, perut sudah kenyang, pekerjaan rumah juga sudah beres. Kalau suami sedang tidak ada acara di luar, kami bisa betah ngobrol sampai menjelang tidur. Berkaitan dengan proyek keluarga kami, saya memulai ngobrol dengan pertanyaan yang memancing suami untuk berpendapat. S

Ego dan Introspeksi Diri

Hari kedua ini dilalui dengan nano nano, dan tanpa skenario. Hujan yang sejak pagi mengguyur, membuat “kebahagiaan” saya tertunda. Entah kenapa, jika pagi sudah hujan dan rutinitas jalan pagi tidak dilakukan badmood langsung melanda. Parahnya, jika pagi sudah badmood seharian akan badmood pula. Masak jadi gak enak, nafsu makan turun, males ngomong, dan jadilah suasana rumah menjadi tidak menyenangkan. Yang terjadi di hari kedua pun demikian, niatnya mau produktif tapi semua gagal karena badmood melanda. L Sejak awal Januari kemarin, saya sudah membuat jadwal belajar untuk adek, walaupun dia masih dalam perut. Seharusnya hari ini belajar “Menyukai Sayuran”, tapi saya yang sudah badmood sejak pagi justru males-malesan mau belanja dan masak. Ekspektasi belanja sayuran yang banyak, realita cuma beli kacang panjang dan itu pun hanya saya rebus. Jadilah belajar “Menyukai Sayuran” bersama adek gagal. Nafsu makan pun turun, jadi makan hanya sedikit-sedikit. Ketika suami pulang dan

Proyek Keluarga: Membangun Pondasi Peradaban

Setelah musim liburan berakhir, tibalah masa untuk belajar kembali. Kali ini tantangan Bunsay di level 3 tentang melatih kecerdasan. Kecerdasan itu sendiri ternyata ada banyak, mulai dari kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan kecerdasan menghadapi tantangan. Tantangan Bunsay ini sebenarnya akan lebih menyenangkan jika pelaksanaannya bersama anak-anak. Tetapi, karena anak masih nyaman berada di perut, partner proyek keluarga saya ya hanya suami. Harapannya melalui proyek keluarga yang kami jalankan dapat menjadikan pribadi kami lebih baik lagi setelah anak lahir. Kami sama-sama orang yang menghargai prestasi. Namun pencapaian kami masing-masing di masa lalu membuat sudut pandang kami terhadap pendidikan anak agak sedikit berbeda. Antara saya dan suami masih sering beda pendapat dalam membuat aturan berkaitan dengan pertumbuhan, perkembangan, dan pendidikan anak. Maka untuk menengahi perbedaan pendapat tersebut, kami membuat kurikulum sendiri-sendiri yang rencananya aka