Langsung ke konten utama

Ego dan Introspeksi Diri


Hari kedua ini dilalui dengan nano nano, dan tanpa skenario. Hujan yang sejak pagi mengguyur, membuat “kebahagiaan” saya tertunda. Entah kenapa, jika pagi sudah hujan dan rutinitas jalan pagi tidak dilakukan badmood langsung melanda. Parahnya, jika pagi sudah badmood seharian akan badmood pula. Masak jadi gak enak, nafsu makan turun, males ngomong, dan jadilah suasana rumah menjadi tidak menyenangkan. Yang terjadi di hari kedua pun demikian, niatnya mau produktif tapi semua gagal karena badmood melanda. L

Sejak awal Januari kemarin, saya sudah membuat jadwal belajar untuk adek, walaupun dia masih dalam perut. Seharusnya hari ini belajar “Menyukai Sayuran”, tapi saya yang sudah badmood sejak pagi justru males-malesan mau belanja dan masak. Ekspektasi belanja sayuran yang banyak, realita cuma beli kacang panjang dan itu pun hanya saya rebus. Jadilah belajar “Menyukai Sayuran” bersama adek gagal. Nafsu makan pun turun, jadi makan hanya sedikit-sedikit.

Ketika suami pulang dan mendapati nasi masih banyak, ia langsung memaksa saya makan. Sejak hamil memang suami yang repot memaksa saya makan dan minum susu, sampai badan segendut ini. Kalau ketahuan saya makan sedikit, dia bakalan marah-marah. Nah.. sore ini, dia memaksa saya makan karena menurutnya saya baru makan sedikit. “Kamu gak boleh egois. Kasian lo adek laper”. Saya juga merasa kasihan, tapi makan benar-benar terasa tidak enak. Biasanya dipaksa begitu, saya mau makan asal ditemani. Tapi kali ini egois saya lebih besar. Saya tetap malas makan, justru pasang muka murung. Padahal suami sudah memaksa dengan lembut, sudah mau menemani, sudah menawarkan mau dibelikan apa dalam kondisi baru pulang kerja pula. Mungkin karena lelah memaksa, kemudian terlontar kalimat yang membuat saya sangat merasa bersalah. “Ya udah.. besok-besok gak usah masak. Gak usah ku bantuin belanja. Kalau mau makan beli aja,”. Nadanya datar, tapi saya langsung nangis saat itu dan segera mengambil makan. Demi suami saya gak kecewa, saya memaksa diri untuk makan sambil nangis. Suami sudah di kamar, istirahat. Dalam hati saya merasa bersalah sekali. Suami pulang dalam kondisi capek, justru saya memasang muka murung dan malas makan. Sementara adek juga butuh makan. Dobel-dobel ngerasa bersalahnya.

Saya jadi sadar bahwa saya belum berhasil mengelola kecerdasan emosional saya. Masih banyak yang perlu dibenahi, salah satunya ya bagaimana mengalahkan badmood supaya tetap ceria. Kejadian ini di luar rencana proyek keluarga. Tetapi sepertinya bisa masuk beberapa indikator dari semua indikator kecerdasan emosional yang saya buat. Saya tetap harus terus latihan demi tujuan saya supaya kelak menjadi ibu yang lebih banyak ramah daripada marah. Bagaimana saya bisa ramah, kalau belum mampu mengalahkan egoisme badmood?. Bagi saya kecerdasan emosional lebih sulit dibandingkan kecerdasan intelektual. Tapi tetap harus semangat latihan.. J




#tantangan_hari_ke_2
#kelasbunsayiip3
#game_level_3
#kami_bisa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Rumahku Madrasah Pertamaku"

Judul Buku : Rumahku Madrasah Pertamaku (Panduan Keluarga Muslim dalam Mendidik Anak) Penulis : Dr. Khalid Ahmad Syantut Penerbit : Maskana Media (Imprint Pustaka Rumah Main Anak) Cetakan : kedua, Januari 2019 Jumlah Halaman : 184 halaman Pertama kali melihat iklan masa PO buku ini, saya langsung tertarik untuk memesannya. Saya memang senantiasa tertarik pada buku parenting . Ketidaksempurnaan dalam diri saya membuat saya ingin terus memperbaiki supaya kelak saya bisa mendidik anak-anak sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul inginkan. Setelah menunggu selama kurang lebih dua minggu, akhirnya buku ini berada di pelukan saya. Desain dan layout buku yang menarik membuat saya ingin segera membacanya. Kemudian, saya bacalah buku ini, mengalahkan tumpukan buku lain yang belum sempat terbaca. "Rumahku Madrasah Pertamaku" begitulah judul buku ini. Sesuai dengan judulnya, buku ini mengingatkan saya kembali tentang betapa berpengaruhnya lingkungan rumah terhadap karakter a...

Review: Smart Hafiz Mempersiapkan Si Kecil Anti Smartphone

Akhir-akhir ini sering saya lihat anak-anak sudah susah terlepas dari gawai. Gawai yang mereka pakai biasanya jenis smartphone. Tak hanya anak-anak, balita bahkan batita juga sering saya lihat mulai menggunakan barang elektronik ini. Bagi saya, hal tersebut kurang mendidik. Anak-anak terutama balita seharusnya bermain untuk melatih kemampuan motorik mereka. Anak-anak yang lebih besar seharusnya bisa membangun interaksi dengan teman sebaya maupun orang di sekitarnya, bukan bersifat antisosial. Nah., latihan kemampuan motorik dan membangun kemampuan sosial ini yang tidak ditemukan dalam smartphone. Anak-anak cenderung pasif ketika menggunakan sartphone. Apalagi jika smartphone tersebut terhubung dengan internet. Anak usia 3 tahun pun bisa mengakses Youtube dan berselancar mencari video-video yang disukainya. Jika sudah terlanjur demikian, anak akan susah disapih dari benda bernama smartphone ini. Ketika kita ingin menyapih anak dari smartphone tantangannya lebih besar dibanding...

Review Rumah Main Anak

Judul Buku : Rumah Main Anak Penulis : Julia Sarah Rangkuti Penyunting :  Rizka Azharini, S. Kep. Penyelaras Akhir : Tyas Choirunnissa, S. Hum. Tata Letak : Jogja Layouter Tim Desain Sampul : Dyna Fitria, S. Si. Diterbitkan oleh : Sahabat Sejati Publishing Jumlah Halaman Buku : 334 halaman Cetakan, Tahun Terbit : 5, September 2017 Apa itu Rumah Main Anak? Saya mengetahui buku ini sejak awal masuk di kelas Bunda Sayang, Ibu Profesional. Waktu itu ada seorang teman yang merekomendasikan buku RMA untuk teman bermain anak-anak. Saya langsung tertarik dan membeli buku RMA ini lengkap dengan RMA edisi kedua. RMA yang akan saya review adalah RMA 1. Pertama kali saya melihat buku ini, saya tertarik pada desain sampulnya. Desain sampul sederhana tapi elegan. Sampul kuning di buku RMA 1 ini membuat kesan ceria sesuai dengan isi buku. Bayi saya yang sudah jatuh cinta pafa pandangan pertama, begitu tertarik pada sampul maka saya pun langsung tertarik ingin seger...