Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2017

Latihan Dasar Kemandirian Berumah Tangga

Saya dan suami adalah keluarga kecil yang masih mencari-cari pola berumah tangga yang cocok dengan karakter pribadi kita masing-masing. Di awal pernikahan sempat terjadi kebingungan urusan domisili dan sempat terbersit untuk menjalani Long Distance Marriage atau istilah kerennya LDM. Selama beberapa bulan suami tinggal di rumah orang tua saya karena lokasi kerja yang berdekatan dengan rumah saya, sementara saya bekerja di luar kota. Ternyata kehidupan seperti itu bukan yang kami cari. Qodarullah., ada sesuatu hal yang memaksa suami saya sehingga saya harus resign dari pekerjaan yang sudah dan hendak saya jalani. Kemudian, kami memutuskan untuk tinggal berdua saja di kota asalnya. Dan., di sinilah kehidupan kami yang sebenarnya dimulai. Kami tinggal di rumah kecil yang belum 100% jadi. Walaupun berdekatan dengan rumah mertua tapi kami berusaha melakukan segala sesuatunya sendiri. Sebenarnya, urusan kemandirian pribadi sudah terbentuk dalam diri kami masing-masing. Sejak sebelum m

Aliran Rasa Game Level 1 Bunda Sayang “Komunikasi Produktif”

Alhamdulillah., game level 1 bisa terlampaui dengan baik dan tepat waktu. Level ini gampang-gampang susah untuk diterapkan. Mulai dari hari pertama sampai hari ini masih terus mencoba bagaimana menjalin komunikasi produktif dengan suami. Saya berusaha menghilangkan “bahasa perempuan” saya dalam berkomunikasi dengannya, terutama ketika saya memerlukan bantuan. Hasilnya, suami bisa lebih mengerti dan jarang terjadi “miskom” lagi. Urusan bahasa tubuh dan mimik muka juga mulai saya benahi. Saya berusaha menunjukkan bahasa tubuh dan mimik muka sesuai perasaan saya. Misalnya, ketika suami bercerita tentang kesehariannya, dan ada hal yang saya kurang setuju, maka mimik muka saya akan menunjukkan ketidaksetujuan tersebut. Cara itu membuat suami lebih mengerti maksud hati saya. Setelah mendapat refleksi dari tim IIP Bunda Sayang tentang komunikasi produktif, saya kemudian mencocokkan masuk dalam pola bagaimana komunikasi antara saya dan suami??. Pola komunikasi saya dan suami didominas

Ibuk... Aku Lapar.....

Kemarin pulang kerja suami sudah menunjukkan muka lelah, tidak memungkinkan untuk mengajaknya diskusi serius. Maka hari ini sempat bingung mau nulis apa demi melengkapi tantangan 10 hari ini. Beruntung dapat ide dari teman-teman Bunsay 3 IIP bahwa komunikasi produktif bisa juga dilakukan bersama janin yang masih ada di dalam perut. Sebelumnya gak kepikiran bahwa komunikasi antara ibu dan janin dalam perut bisa masuk dalam komunikasi produktif. Nah., ide dari teman-teman itu yang membuat saya tergerak untuk menulis bentuk komunikasi bersama janin. Sejak belum respon mendengar, si adek sudah sering saya ajak ngobrol. Drama di awal kehamilan membuat saya merasa harus selalu berbicara dengannya dan meyakinkannya bahwa ia selalu dalam keadaan baik dan sehat. Sampai sekarang yang sering saya katakan padanya adalah tentang kesehatan dan kesejahteraannya selama di dalam rahim. Kalau agak lama tidak ada gerakan kecil dari perut, saya tanyakan keadaannya “Hallo adek.. adek sehat-sehat

Diskusi Serius: Pornografi di Kalangan Anak SD

Agaknya istilah “teman hidup” dalam pernikahan memang ada benarnya. Setelah menikah saya justru merasa hubungan saya dan suami lebih seperti teman, bukan kekasih layaknya orang pacaran. Tak jarang kami masih berperilaku konyol seperti anak sekolahan, atau membicarakan hal paling tidak penting seperti praktik bahasa alien. Jadi suasana yang terbangun di rumah justru seperti sepasang teman yang kadang saling ejek, saling bercerita, atau melakukan keisengan bersama. Dan itu jauh sekali dari romantisme. Selain hal kekanak-kanakan, tak jarang kami juga berdiskusi serius. Secara umum background diri kami sama-sama di bidang pendidikan. Membicarakan pendidikan dengan suami sering bikin saya betah, walaupun sering tergelitik untuk mendebat. Masih ada beberapa sudut pandang pendidikan yang belum satu visi antara saya dan suami. Diskusi semacam ini tak pernah terencana, kadang dari ngobrol tentang apa kemudian nyambung aja ke pembicaraan serius. Seperti kemarin, yang entah darimana bera

Dalam Rangka Mengurangi “Bahasa Perempuan”

Belajar dari kejadian beberapa hari yang lalu dan sebelum-sebelumnya, saya memang harus mulai memangkas “bahasa perempuan” saya menjadi bahasa yang lebih lugas dan mudah dipahami suami. Penggunaan “bahasa perempuan” ini justru hanya menyusahkan saya dan mempersulit komunikasi efektif. Jika kemarin-kemarin saya masih menggunakan “bahasa perempuan” alias berputar-putar ketika hendak minta tolong pada suami, sekarang saya lebih lugas mengatakannya. Hasilnya, suami lebih paham dan bisa memangkas waktu berdebat yang tak penting. Gengsi gede-gedean memang harus dihilangkan ketika sudah berumah tangga supaya tidak terjadi miskomunikasi. Jika suami sudah sering paham terhadap mau saya, gantian saya juga harus paham terhadap apa mau suami. Sayangnya, pemahaman saya terhadap suami tidak sebaik pemahaman suami terhadap saya. Beberapa kali saya masih salah membaca keadaan, sehingga saya merasa tak begitu bermanfaat bagi suami. Belajar memahami ini benar-benar butuh waktu. Tadi malam s

Menyatukan Perbedaan

Dibesarkan dalam lingkungan dan latar belakang yang berbeda membuat banyak perbedaan kebiasaan antara saya dan suami. Perbedaan memang hal wajar dalam rumah tangga. Perbedaan itu pula yang harus kita sikapi dengan positif. Salah satu perbedaan yang kadang bikin saya geregetan adalah masalah makanan. Dulu suami memiliki pola makan yang sangat tidak teratur, tidak pernah sarapan dan gemar mengkonsumsi mie instan. Saya kebalikannya, sarapan adalah hal wajib bagi saya sebelum melakukan kegiatan dan mie instan adalah makanan yang paling anti dalam pola makan saya. Hal ini bisa jadi dianggap sebagai hal sepele, namun bagi saya sangat penting. Beberapa kali suami sering tidak sarapan dan baru makan setelah pukul 14.00 atau bahkan setelah tiba di rumah pukul 16.00 atau 17.00. Saya miris membayangkan bagaimana suami saya bekerja tanpa asupan makanan yang memadai di pagi hari. Suami pada dasarnya juga keras kepala, kadang sudah diingatkan untuk makan atau mau dibawakan bekal, alasannya

Pemilihan Waktu yang Tepat

Salah satu materi Bunda Sayang IIP tentang komunikasi produktif yang saya ingat adalah “choose the right time”. Memilih waktu yang tepat untuk berbicara adalah hal yang sangat penting demi tercapainya komunikasi produktif. Berbicara dalam hal ini tentu bukan bicara asal, tetapi bicara yang kadarnya serius. Dalam keluarga kecil saya, waktu yang tepat untuk berbicara serius adalah selepas shalat isya, menjelang tidur. Saat-saat tersebut adalah saat yang santai di mana semua pekerjaan rumah sudah beres dan suami pikirannya sudah adem. Jika tidak ada hal serius yang dibicarakan, hal apapun bisa menjadi bahan pembicaraan antara saya dan suami. Malam itu suami menyampaikan keinginannya yang sudah lama ia timbang-timbang. Entah darimana pembicaraan bermula, suami kemudian menanyakan pada saya “Jadi... kapan aku bisa sekolah lagi?” . Ah iya.. suami beberapa bulan lalu memang pernah menyampaikan keinginannya untuk study lanjut, dan waktu itu saya setuju-setuju saja. Begitu seriusnya sam

Kode dalam Komunikasi, Efektifkah?

Sebagai perempuan gengsi sering menjadi lebih penting dibandingkan hal lain. Misalnya, Sepasang suami istri pergi ke suatu tempat. Si istri tiba-tiba merasa lapar, ketika bertanya pada suaminya dan suaminya bilang bahwa ia tak lapar, maka apa yang dilakukan istri? Sebagai perempuan ia rela menahan lapar, hanya karena ia gengsi mengatakan dirinya kelaparan sementara suaminya tidak lapar atau mengajak makan. Memang tidak semua perempuan seperti contoh tersebut, itu hanya contoh kecil bahwa gengsi perempuan bisa membuat si perempuan itu justru mengalami kerugian. Padahal jika dikomunikasikan dengan baik, gengsi dikesampingkan, tentu tragedi seperti contoh tersebut tidak akan terjadi. Nah.. ini yang kadang masih saya alami ketika berkomunikasi dengan suami. Pada dasarnya saya memang gengsi tinggi dengan laki-laki, apalagi sebelum menikah. Harus selalu terlihat perfect di depan laki-laki. Setelah menikah, gengsi semacam itu tak bisa diterapkan lagi. Bagaimana mau diterapkan jika d

Kitchen Talk: Saatnya Ngobrol Ringan di Pagi Hari

Memasuki hari ke-4 tantangan 10 hari Bunsay batch 3, saya mulai menemukan beberapa point penting dalam komunikasi dengan suami. Komunikasi produktif dengan suami memang baru saya mulai setelah menikah karena masa perkenalan kami yang sangat singkat. Bahkan sampai sekarang saya merasa masih belum percaya kalau saya sudah menikah.. :D. Setiap keluarga atau setiap pasangan memiliki gaya komunikasi yang berbeda. Dan yang pasti unik-unik. Misalnya, di iklan salah satu produk teh ditekankan “Saatnya ngeteh saatnya bicara”. Contoh lain, di keluarga saya dulu saat saling bicara dan bercanda justru ketika mencuci baju bersama. Walaupun sudah ada mesin cuci, agenda mencuci bersama ini tetap berlangsung setiap hari. Nah., di keluarga kecil saya sekarang, karena sama-sama tidak begitu hobi ngeteh dan tidak ada agenda mencuci bersama maka sarana ngobrol ringan jadi pindah ke dapur. Kalau ada istilah pillow talk saya juga punya istilah untuk gaya komunikasi saya di dapur yaitu kitchen talk.

Akibat Tidak Ada Komunikasi

Segala sesuatu memang harus dikomunikasikan supaya orang lain memahami apa yang kita maksud. Dalam hubungan pernikahan, kadang tanpa komunikasi bisa saling paham. Namun, tidak jarang juga terjadi “sesuatu” akibat tidak adanya komunikasi. Nah., ini yang saya alami tadi malam. Ketika saya dan suami benar-benar tidak ada komunikasi, jadilah salah satu mengalami kerugian. Ceritanya, sejak Kamis kami menginap di rumah ibu. Hari Jum’at suami pulang ke rumah karena ada ngajar siang sampai sore. Berangkat pagi-pagi seperti biasa, bedanya satu malam gak ketemu suami. Seharian kami tidak banyak berkomunikasi. Sejak menikah kami memang lebih sering komunikasi langsung, pesan teks dan telpon sangat jarang kecuali kami sedang berjauhan. Sore hari, saya, ibu, dan bapak pergi mencari kue ulang tahun (ceritanya seminggu lalu suami ultah dan saya belum sempat memberi kejutan apapun.. :D). Kami pulang sampai malam dan suami saya menelpon. Qodarullah , suami cerita apa yang dialaminya sesore

Mungkin Ini yang Namanya Keterikatan Batin

Membangun komunikasi yang baik antara kita dengan pasangan memang membutuhkan waktu, tak terkecuali saya dan suami. Menyatukan ide dan pendapat dari dua kepala kadang tidak mudah, justru sering tidak berkesimpulan. Begitulah perjalanan membangun komunikasi, senantiasa diuji dan ada hambatannya. Walaupun demikian, saya tidak pantang menyerah mengatasi hal ini. Kepekaan batin harus terus diasah supaya perjalanan komunikasi produktif bisa mulus. Terkait dengan kepekaan batin, sering lho beberapa kali mengalami kejadian tak terduga. Begini salah satu ceritanya. Kemarin adalah jadwal saya kontrol di Rumah Sakit. Pagi-pagi dijemput bapak dan diantar sampai Rumah Sakit, karena suami harus ngajar pagi-pagi. Di Rumah Sakit-pun saya tidak ditungguin bapak karena beliau juga buru-buru ada rapat. Jadilah saya sendiri mulai dari ngurus registrasi sampai nunggu berjam-jam di ruang tunggu. Walaupun berangkat sepagi apapun biasanya praktik dokter baru mulai paling awal jam 11.00, maka saya sud

Membangun Pondasi Komunikasi

Komunikasi menjadi hal penting dalam sebuah rumah tangga. Apalagi rumah tangga yang masih seumur jagung seperti saya. Sampai saat ini masih meraba-raba, trial and error mencari cara komunikasi produktif bersama suami. Pendidikan keluarga, kebiasaan, dan cara pandang yang berbeda membuat kami harus sama-sama adaptasi satu sama lain ketika hendak mengutarakan sesuatu. Qodarullah, beberapa saat yang lalu suami diterpa masalah di lingkungan kerja. Ia berusaha memendam masalahnya dalam-dalam supaya saya tidak tahu. Mungkin maksudnya adalah menjaga perasaan saya supaya tidak kepikiran. Tapi bagaimanapun perempuan, perasaan setajam silet tentu mampu mendeteksi bahwa ada yang tak beres dengan suaminya. Nah., dalam hal ini bingung juga bagaimana mengawali komunikasi produktif supaya tidak terjadi masalah yang lebih besar. Kemudian saya ingat materi Bunda Sayang tentang Komunikasi Produktif berkaitan dengan FoR (Frame of Reference) dan FoE (Frame of Experience) . Suami tentu memiliki