Langsung ke konten utama

Kode dalam Komunikasi, Efektifkah?



Sebagai perempuan gengsi sering menjadi lebih penting dibandingkan hal lain. Misalnya, Sepasang suami istri pergi ke suatu tempat. Si istri tiba-tiba merasa lapar, ketika bertanya pada suaminya dan suaminya bilang bahwa ia tak lapar, maka apa yang dilakukan istri? Sebagai perempuan ia rela menahan lapar, hanya karena ia gengsi mengatakan dirinya kelaparan sementara suaminya tidak lapar atau mengajak makan. Memang tidak semua perempuan seperti contoh tersebut, itu hanya contoh kecil bahwa gengsi perempuan bisa membuat si perempuan itu justru mengalami kerugian. Padahal jika dikomunikasikan dengan baik, gengsi dikesampingkan, tentu tragedi seperti contoh tersebut tidak akan terjadi.

Nah.. ini yang kadang masih saya alami ketika berkomunikasi dengan suami. Pada dasarnya saya memang gengsi tinggi dengan laki-laki, apalagi sebelum menikah. Harus selalu terlihat perfect di depan laki-laki. Setelah menikah, gengsi semacam itu tak bisa diterapkan lagi. Bagaimana mau diterapkan jika dari bangun tidur sampai mau tidur selalu ada suami?. Dulu masih bisa tampil secantik mungkin ketika ketemu, sekarang kondisi bangun tidur dan belum mandi sudah ada suami. Semua keburukan jadi gak bisa ditutupi.. :D. Kalau kondisi begini masih gengsi ya gimana mau tenang hidupnya. Hehe... Walau demikian, gengsi masih melekat di diri saya dengan kadar yang menurun. Saya masih beberapa kali memakai “kode” ketika hendak menyampaikan sesuatu pada suami, saya menyebut “kode” tersebut sebagai “bahasa perempuan”. Biasanya ini saya sampaikan ketika hendak meminta sesuatu atau meminta tolong. Tapi namanya laki-laki, kode-kode begini susah dicerna dalam waktu singkat.

Lagi-lagi kemarin saya tidak sengaja menggunakan “bahasa perempuan” ketika hendak meminta tolong pada suami. Kebetulan kami hendak pergi dan suami sudah siap lebih dahulu. Saya masih mondar mandir menata barang, belum lagi urusan ganti baju (kebiasaan perempuan rempong., hehe). Seperti terburu waktu, sambil mondar mandir dan kegerahan saya minta tolong pada suami supaya ia mau mengupaskan belimbing untukku. Karena hendak meminta tolong, keluarlah “bahasa perempuan”ku.

👧 : Mas.., pengen belimbing gak?
👦 : Enggak ah.,
👧 : Mas gak paham bahasa perempuan
👦 : Ya dibawa aja belimbingnya, yang kemarin masih kan?
👧 : Tik.. tok.. tik.. tok...
👦: Aku kasih tau ya., aku kalau ditawari ya pasti bilang gak mau. Tapi kalau ada, disediakan ya pasti dimakan. Kalau gak ada ya gak maksain harus ada.
👧 : Mas bener-bener gak paham ya bahasa perempuan? (sambil muka melas)

Suami sepertinya melihat bahasa tubuh saya. Kemudian dia tertawa.
👦 : Oh... pengen dikupasin belimbing? Ngomong kek yang jelas, pake kode segala..
👧 : Ya kan, mas yang udah siap. Aku masih ribut dan haus banget, pengen dikupasin belimbing biar seger.

Kode sangat tidak efektif dalam komunikasi. Walaupun lama kelamaan pasangan akan paham, tapi lebih baik tanpa kode. Penggunaan kode memang seharusnya dihindari. Berdasarkan kaidah 7-38-55, komunikasi efektif dapat tercapai melalui bahasa verbal, intonasi suara dan gaya tubuh (bisa gesture, raut muka, dll). Tidak ada “bahasa perempuan” dalam kaidah tersebut., hehe. Setelah saya telusuri, ternyata suami lebih paham membaca gaya tubuh saya dibandingkan bahasa verbal dalam berkomunikasi, mungkin karena saya kalau ngomong panjang jadi membingungkan baginya. Dan saya, lebih paham ketika suami menggunakan bahasa verbal dibandingkan gaya tubuh, bisa jadi karena saya kurang peka membaca perubahan mimik dan gesture. Ini masih menjadi PR bagi saya, karena gengsi masih sering muncul sehingga “bahasa perempuan” muncul. Pembiasaan komunikasi berikutnya adalah memangkas “kode” atau “bahasa perempuan” saya supaya tercapai komunikasi yang efektif.

#hari5
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif

#kuliahbunsayiip

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Rumahku Madrasah Pertamaku"

Judul Buku : Rumahku Madrasah Pertamaku (Panduan Keluarga Muslim dalam Mendidik Anak) Penulis : Dr. Khalid Ahmad Syantut Penerbit : Maskana Media (Imprint Pustaka Rumah Main Anak) Cetakan : kedua, Januari 2019 Jumlah Halaman : 184 halaman Pertama kali melihat iklan masa PO buku ini, saya langsung tertarik untuk memesannya. Saya memang senantiasa tertarik pada buku parenting . Ketidaksempurnaan dalam diri saya membuat saya ingin terus memperbaiki supaya kelak saya bisa mendidik anak-anak sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul inginkan. Setelah menunggu selama kurang lebih dua minggu, akhirnya buku ini berada di pelukan saya. Desain dan layout buku yang menarik membuat saya ingin segera membacanya. Kemudian, saya bacalah buku ini, mengalahkan tumpukan buku lain yang belum sempat terbaca. "Rumahku Madrasah Pertamaku" begitulah judul buku ini. Sesuai dengan judulnya, buku ini mengingatkan saya kembali tentang betapa berpengaruhnya lingkungan rumah terhadap karakter a...

Mendidik dengan Cinta

Mendidik tak bisa serta merta. Mendidik adalah proses panjang yang melibatkan banyak komponen kompleks. Dalam mendidik diperlukan ilmu dan ilmu tersebut akan lebih bermakna jika disertai dengan cinta. Ya.. Mendidik perlu cinta, perlu keikhlasan dan kesabaran. Wujud cinta ini yang beragam, tergantung bagaimana orang tua mendefinisikan cinta bagi buah hati yang mereka didik. Tak ada satu pun orang tua di dunia ini yang tak mencintai anak-anaknya. Mereka mencintai anak-anak mereka dengan caranya. Terdapat beberapa pola asuh orang tua yang berhasil membawa anak-anak mereka menuju sukses. Ada pola asuh yang membawa anak-anak mereka untuk mampu berdikari. Bahkan ada pula orang tua yang sukar melepaskan genggaman perlindungannya pada sang anak. Mereka semua punya dasar yang sama, yaitu kecintaan terhadap anak-anak mereka. Lalu kecintaan seperti apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh anak-anak kita? Dalam mendidik generasi alfa, tantangan yang dihadapi demikian kompleks. Orang tua harus ma...

Review Rumah Main Anak

Judul Buku : Rumah Main Anak Penulis : Julia Sarah Rangkuti Penyunting :  Rizka Azharini, S. Kep. Penyelaras Akhir : Tyas Choirunnissa, S. Hum. Tata Letak : Jogja Layouter Tim Desain Sampul : Dyna Fitria, S. Si. Diterbitkan oleh : Sahabat Sejati Publishing Jumlah Halaman Buku : 334 halaman Cetakan, Tahun Terbit : 5, September 2017 Apa itu Rumah Main Anak? Saya mengetahui buku ini sejak awal masuk di kelas Bunda Sayang, Ibu Profesional. Waktu itu ada seorang teman yang merekomendasikan buku RMA untuk teman bermain anak-anak. Saya langsung tertarik dan membeli buku RMA ini lengkap dengan RMA edisi kedua. RMA yang akan saya review adalah RMA 1. Pertama kali saya melihat buku ini, saya tertarik pada desain sampulnya. Desain sampul sederhana tapi elegan. Sampul kuning di buku RMA 1 ini membuat kesan ceria sesuai dengan isi buku. Bayi saya yang sudah jatuh cinta pafa pandangan pertama, begitu tertarik pada sampul maka saya pun langsung tertarik ingin seger...