Agaknya
istilah “teman hidup” dalam pernikahan memang ada benarnya. Setelah menikah
saya justru merasa hubungan saya dan suami lebih seperti teman, bukan kekasih
layaknya orang pacaran. Tak jarang kami masih berperilaku konyol seperti anak
sekolahan, atau membicarakan hal paling tidak penting seperti praktik bahasa
alien. Jadi suasana yang terbangun di rumah justru seperti sepasang teman yang
kadang saling ejek, saling bercerita, atau melakukan keisengan bersama. Dan itu
jauh sekali dari romantisme.
Selain hal
kekanak-kanakan, tak jarang kami juga berdiskusi serius. Secara umum background diri kami sama-sama di bidang
pendidikan. Membicarakan pendidikan dengan suami sering bikin saya betah,
walaupun sering tergelitik untuk mendebat. Masih ada beberapa sudut pandang
pendidikan yang belum satu visi antara saya dan suami. Diskusi semacam ini tak
pernah terencana, kadang dari ngobrol tentang apa kemudian nyambung aja ke
pembicaraan serius. Seperti kemarin, yang entah darimana berasal kemudian
nyambung pada peristiwa pornografi di kalangan anak SD.
Saya banyak
sekali mendengar berita pornografi anak SD dari teman guru, yang ironisnya
terjadi pada anak-anak didik mereka. Bahkan dulu di sekolah tempat saya
mengajar ada anak yang sudah sering melihat ketika orang tuanya sedang
melakukan “hajat” mereka. Miris dan ngeri mendengarnya, karena anak-anak
tersebut berada sangat dekat di sekitar tempat tinggal saya. Saya ceritakan
informasi-informasi tersebut pada suami, sebagai peringatan bahwa saat ini
pornografi di kalangan anak SD sudah masuk dalam zona merah. Suami saya
berpendapat bahwa faktor kurang dekat dan kurangnya kepedulian orang tua pada
anak menjadi pemicu utama terjadinya pornografi. Figur guru juga sedikit banyak
mempengaruhi keseharian anak. Guru yang berwibawa dan selalu ada untuk anak
akan lebih dituruti nasehatnya daripada guru yang kurang berwibawa. Komunikasi anak
dan orang tua yang kurang intens juga bisa mendukung anak untuk melakukan hal-hal
yang buruk.
Informasi-informasi
tersebut membuat kami benar-benar harus waspada dalam mendidik anak kami
sendiri kelak, karena di zamannya bisa jadi hal seperti ini sudah lebih parah
lagi. Kami kemudian menyimpulkan, hal-hal apa yang seharusnya dilakukan orang
tua untuk menjaga anaknya dari pornografi?
- Mempunyai kamar tidur terpisah dari anak
- Mengunci pintu kamar ketika hendak melakukan “hajat”, dirahasiakan dari anak
- Hindari menyimpan gambar-gambar tak senonoh di gadget atau laptop
- Belajarkan pendidikan seks secara dini, beri peringatan pada anak tentang bagian tubuh mana saja yang tidak boleh dilihat/dipegang orang lain selain orang tua
- Hindarkan memberikan gadget pribadi pada anak
- Membangun komunikasi intens dengan anak (komunikasi hati ke hati bersama ibu dan pendidikan akhlak bersama ayah)
Hal-hal
tersebut menjadi catatan bagi kami untuk melakukannya seoptimal mungkin jika
waktunya telah tiba. Komunikasi serius, apalagi berkaitan dengan masa depan
adalah hal yang penting sebagai bekal menghadapi kondisi yang akan datang.
Selama berdiskusi saya mencoba menerapkan beberapa teori yang didapatkan dari
kelas Bunda Sayang IIP, yaitu ketika berkomunikasi perhatikan pula tatapan mata
dan gaya tubuh. Saya menunjukkan antusiasme dan sesekali menatap untuk
menekankan suatu hal yang penting. Sikap antusias dan tatapan mata yang fokus
ternyata memberi efek positif dalam diskusi, sehingga muncullah sebuah
kesimpulan bukan hanya diskusi yang mengambang tanpa simpulan. Munculnya
kesimpulan dalam sebuah pembicaraan bisa menjadi salah satu pertanda bahwa
komunikasi sudah saling tersampaikan dan kedua belah pihak sudah saling mengerti.
#hari9
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Komentar
Posting Komentar
Thank you for visiting... 😁😁