Langsung ke konten utama

Dalam Rangka Mengurangi “Bahasa Perempuan”



Belajar dari kejadian beberapa hari yang lalu dan sebelum-sebelumnya, saya memang harus mulai memangkas “bahasa perempuan” saya menjadi bahasa yang lebih lugas dan mudah dipahami suami. Penggunaan “bahasa perempuan” ini justru hanya menyusahkan saya dan mempersulit komunikasi efektif. Jika kemarin-kemarin saya masih menggunakan “bahasa perempuan” alias berputar-putar ketika hendak minta tolong pada suami, sekarang saya lebih lugas mengatakannya. Hasilnya, suami lebih paham dan bisa memangkas waktu berdebat yang tak penting. Gengsi gede-gedean memang harus dihilangkan ketika sudah berumah tangga supaya tidak terjadi miskomunikasi.

Jika suami sudah sering paham terhadap mau saya, gantian saya juga harus paham terhadap apa mau suami. Sayangnya, pemahaman saya terhadap suami tidak sebaik pemahaman suami terhadap saya. Beberapa kali saya masih salah membaca keadaan, sehingga saya merasa tak begitu bermanfaat bagi suami. Belajar memahami ini benar-benar butuh waktu.

Tadi malam saya mencoba strategi baru dalam melayani suami (istri baru macam saya, masih meraba-raba tentang apa yang disukai dan tidak disukai suami... ). Belajar dari kejadian kemarin, yang kemudian terlontar kata-kata dari suami bahwa ia lebih suka langsung disediakan dan tidak ditanyai lebih dahulu, akhirnya saya coba menerapkannya.

Suami sangat jarang bahkan tidak pernah membawa pekerjaan di rumah. Mungkin karena akhir-akhir ini sedang banyak kesibukan, jadi malam ini suami membawa sedikit pekerjaan ke rumah. Ketika sudah mulai serius, saya sempat menanyakan minta dibuatkan sesuatu atau tidak. Ditanya demikian tentu saja jawabannya adalah tidak.. :D. Seharusnya saya tidak usah bertanya dulu, langsung beraksi saja. Kemudian, tanpa peduli dengan penolakannya tadi saya masuk dapur membuatkan minuman panas dan roti empuk.

👨 : Kan udah aku bilang gak usah...
👩 : Udah terlanjur., :D Harus dihabiskan ya..
👨 : Insya Allah
👩 : Awas lo kalau gak habis., Gak menghargai namanya. (sambil berlalu)

Kemudian saya tinggalkan suami dengan pekerjaannya dan saya berangkat tidur. Esok harinya, saya lihat gelas sudah kosong dan roti berkurang jumlahnya. Sepertinya memang suami modelnya gak usah ditanya dulu, langsung aksi nyata. Hal sederhana begini harus mulai saya biasakan demi melatih kepekaan saya. Saya memang masih kurang peka untuk urusan ini, anggapan saya ketika suami ditanya keinginannya dan dia menjawab tidak ada berarti semua baik-baik saja. Padahal mungkin tidak demikian juga, suami mengharapkan kepekaan dari istrinya setelah ia lelah seharian bekerja.
Pemahaman demikian tidak dapat saya dapatkan secara tiba-tiba. Butuh waktu, butuh komunikasi serta butuh trial and error. Kadang saya merefleksi diri, dan dari sekian banyak komunikasi yang pernah saya lakukan, komunikasi yang paling unik adalah komunikasi bersama suami. J

#hari8
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif

#kuliahbunsayiip

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Rumahku Madrasah Pertamaku"

Judul Buku : Rumahku Madrasah Pertamaku (Panduan Keluarga Muslim dalam Mendidik Anak) Penulis : Dr. Khalid Ahmad Syantut Penerbit : Maskana Media (Imprint Pustaka Rumah Main Anak) Cetakan : kedua, Januari 2019 Jumlah Halaman : 184 halaman Pertama kali melihat iklan masa PO buku ini, saya langsung tertarik untuk memesannya. Saya memang senantiasa tertarik pada buku parenting . Ketidaksempurnaan dalam diri saya membuat saya ingin terus memperbaiki supaya kelak saya bisa mendidik anak-anak sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul inginkan. Setelah menunggu selama kurang lebih dua minggu, akhirnya buku ini berada di pelukan saya. Desain dan layout buku yang menarik membuat saya ingin segera membacanya. Kemudian, saya bacalah buku ini, mengalahkan tumpukan buku lain yang belum sempat terbaca. "Rumahku Madrasah Pertamaku" begitulah judul buku ini. Sesuai dengan judulnya, buku ini mengingatkan saya kembali tentang betapa berpengaruhnya lingkungan rumah terhadap karakter a...

Review: Smart Hafiz Mempersiapkan Si Kecil Anti Smartphone

Akhir-akhir ini sering saya lihat anak-anak sudah susah terlepas dari gawai. Gawai yang mereka pakai biasanya jenis smartphone. Tak hanya anak-anak, balita bahkan batita juga sering saya lihat mulai menggunakan barang elektronik ini. Bagi saya, hal tersebut kurang mendidik. Anak-anak terutama balita seharusnya bermain untuk melatih kemampuan motorik mereka. Anak-anak yang lebih besar seharusnya bisa membangun interaksi dengan teman sebaya maupun orang di sekitarnya, bukan bersifat antisosial. Nah., latihan kemampuan motorik dan membangun kemampuan sosial ini yang tidak ditemukan dalam smartphone. Anak-anak cenderung pasif ketika menggunakan sartphone. Apalagi jika smartphone tersebut terhubung dengan internet. Anak usia 3 tahun pun bisa mengakses Youtube dan berselancar mencari video-video yang disukainya. Jika sudah terlanjur demikian, anak akan susah disapih dari benda bernama smartphone ini. Ketika kita ingin menyapih anak dari smartphone tantangannya lebih besar dibanding...

Review Rumah Main Anak

Judul Buku : Rumah Main Anak Penulis : Julia Sarah Rangkuti Penyunting :  Rizka Azharini, S. Kep. Penyelaras Akhir : Tyas Choirunnissa, S. Hum. Tata Letak : Jogja Layouter Tim Desain Sampul : Dyna Fitria, S. Si. Diterbitkan oleh : Sahabat Sejati Publishing Jumlah Halaman Buku : 334 halaman Cetakan, Tahun Terbit : 5, September 2017 Apa itu Rumah Main Anak? Saya mengetahui buku ini sejak awal masuk di kelas Bunda Sayang, Ibu Profesional. Waktu itu ada seorang teman yang merekomendasikan buku RMA untuk teman bermain anak-anak. Saya langsung tertarik dan membeli buku RMA ini lengkap dengan RMA edisi kedua. RMA yang akan saya review adalah RMA 1. Pertama kali saya melihat buku ini, saya tertarik pada desain sampulnya. Desain sampul sederhana tapi elegan. Sampul kuning di buku RMA 1 ini membuat kesan ceria sesuai dengan isi buku. Bayi saya yang sudah jatuh cinta pafa pandangan pertama, begitu tertarik pada sampul maka saya pun langsung tertarik ingin seger...