Langsung ke konten utama

Menyatukan Perbedaan



Dibesarkan dalam lingkungan dan latar belakang yang berbeda membuat banyak perbedaan kebiasaan antara saya dan suami. Perbedaan memang hal wajar dalam rumah tangga. Perbedaan itu pula yang harus kita sikapi dengan positif. Salah satu perbedaan yang kadang bikin saya geregetan adalah masalah makanan. Dulu suami memiliki pola makan yang sangat tidak teratur, tidak pernah sarapan dan gemar mengkonsumsi mie instan. Saya kebalikannya, sarapan adalah hal wajib bagi saya sebelum melakukan kegiatan dan mie instan adalah makanan yang paling anti dalam pola makan saya. Hal ini bisa jadi dianggap sebagai hal sepele, namun bagi saya sangat penting.

Beberapa kali suami sering tidak sarapan dan baru makan setelah pukul 14.00 atau bahkan setelah tiba di rumah pukul 16.00 atau 17.00. Saya miris membayangkan bagaimana suami saya bekerja tanpa asupan makanan yang memadai di pagi hari. Suami pada dasarnya juga keras kepala, kadang sudah diingatkan untuk makan atau mau dibawakan bekal, alasannya selalu karena tidak sempat. Berkali-kali diingatkan pun demikian. Ketika di rumah ibu, suami mau diajak sarapan. Mungkin maksudnya menghormati karena sudah disediakan, dan ibu saya juga cerewet sekali masalah sarapan ini.

Qodarullah., ketika malam Minggu kemarin kami menginap di rumah ibu, dan terkuaklah kebiasaan suami yang tak mau sarapan, suami saya diceramahi macem-macem. Saya di sampingnya tertawa jahat sambil menyeringai, walaupun saya juga kena ceramah karena siap-siap sarapan kurang pagi.
Semenjak itu, dimulailah komunikasi masalah sarapan. Mulai hari Senin saya bertekad untuk siap-siap lebih pagi, supaya suami sempat sarapan. Tiap hari saya sounding (lebih tepatnya cerewet.. hehe) supaya ia mau membiasakan sarapan. Suami pasrah-pasrah aja sambil iya, iya.

Selama tiga hari ini saya berusaha menyelesaikan memasak lebih awal. Di samping mengingatkan, saya juga memasang muka memelas supaya suami mau menghargai masakan saya. Dalam komunikasi kami, komunikasi saya ke suami memang lebih tersampaikan dengan bahasa tubuh. Hasilnya suami sudah mulai mau membiasakan sarapan, harapan saya sih bisa terus bukan di awal-awal ini saja.


Selain sarapan, urusan makanan yang tak kalah bikin geregetan adalah mie instan. Berdasarkan pengakuannya sendiri, dulu suami bisa makan sampai lima kali dengan menu mie instan. Saya yang notabene penggemar healthy food hanya mengelus dada, prihatin. Masalah pembatasan mie instan memang sudah saya lakukan sejak awal-awal menikah. Dan saat ini lebih saya batasi lagi, yang dulu boleh mie instan seminggu sekali, sekarang jadi sebulan sekali. Agak kejam sih, karena kadang suami sampai memohon-mohon makan mie instan. Kalau sedang begitu, saya diam aja no comment sambil pasang muka sedih dan gak ikhlas. Karena percuma saja saya cerewet, suami justru akan membalas dengan bantahan “Kalau mie instan bahaya. Ngapain sampai sekarang masih banyak yang jual? Harusnya pabriknya udah tutup,”. Nah loo... kalau udah begini saya tak berkutik, jadi mending diam aja dan mimik mukanya diatur sedemikian rupa sehingga. Sekali lagi, kekuatan bahasa tubuh menjadi jurus terjitu untuk berkomunikasi dengan suami (tapi tentu tidak semua masalah dengan bahasa tubuh.. hehe).

Kebiasaan pola makan yang sangat berseberangan antara saya dan suami menjadi PR tersendiri. Melalui komunikasi yang intens dan terus menerus harapannya dapat menyatukan perbedaan masalah makanan ini. Memang saat ini masih banyak penyesuaian. Harapan saya suami dapat mengikis kebiasaan buruknya dalam hal pola makan.

#hari7
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Rumahku Madrasah Pertamaku"

Judul Buku : Rumahku Madrasah Pertamaku (Panduan Keluarga Muslim dalam Mendidik Anak) Penulis : Dr. Khalid Ahmad Syantut Penerbit : Maskana Media (Imprint Pustaka Rumah Main Anak) Cetakan : kedua, Januari 2019 Jumlah Halaman : 184 halaman Pertama kali melihat iklan masa PO buku ini, saya langsung tertarik untuk memesannya. Saya memang senantiasa tertarik pada buku parenting . Ketidaksempurnaan dalam diri saya membuat saya ingin terus memperbaiki supaya kelak saya bisa mendidik anak-anak sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul inginkan. Setelah menunggu selama kurang lebih dua minggu, akhirnya buku ini berada di pelukan saya. Desain dan layout buku yang menarik membuat saya ingin segera membacanya. Kemudian, saya bacalah buku ini, mengalahkan tumpukan buku lain yang belum sempat terbaca. "Rumahku Madrasah Pertamaku" begitulah judul buku ini. Sesuai dengan judulnya, buku ini mengingatkan saya kembali tentang betapa berpengaruhnya lingkungan rumah terhadap karakter a...

Review: Smart Hafiz Mempersiapkan Si Kecil Anti Smartphone

Akhir-akhir ini sering saya lihat anak-anak sudah susah terlepas dari gawai. Gawai yang mereka pakai biasanya jenis smartphone. Tak hanya anak-anak, balita bahkan batita juga sering saya lihat mulai menggunakan barang elektronik ini. Bagi saya, hal tersebut kurang mendidik. Anak-anak terutama balita seharusnya bermain untuk melatih kemampuan motorik mereka. Anak-anak yang lebih besar seharusnya bisa membangun interaksi dengan teman sebaya maupun orang di sekitarnya, bukan bersifat antisosial. Nah., latihan kemampuan motorik dan membangun kemampuan sosial ini yang tidak ditemukan dalam smartphone. Anak-anak cenderung pasif ketika menggunakan sartphone. Apalagi jika smartphone tersebut terhubung dengan internet. Anak usia 3 tahun pun bisa mengakses Youtube dan berselancar mencari video-video yang disukainya. Jika sudah terlanjur demikian, anak akan susah disapih dari benda bernama smartphone ini. Ketika kita ingin menyapih anak dari smartphone tantangannya lebih besar dibanding...

Review Rumah Main Anak

Judul Buku : Rumah Main Anak Penulis : Julia Sarah Rangkuti Penyunting :  Rizka Azharini, S. Kep. Penyelaras Akhir : Tyas Choirunnissa, S. Hum. Tata Letak : Jogja Layouter Tim Desain Sampul : Dyna Fitria, S. Si. Diterbitkan oleh : Sahabat Sejati Publishing Jumlah Halaman Buku : 334 halaman Cetakan, Tahun Terbit : 5, September 2017 Apa itu Rumah Main Anak? Saya mengetahui buku ini sejak awal masuk di kelas Bunda Sayang, Ibu Profesional. Waktu itu ada seorang teman yang merekomendasikan buku RMA untuk teman bermain anak-anak. Saya langsung tertarik dan membeli buku RMA ini lengkap dengan RMA edisi kedua. RMA yang akan saya review adalah RMA 1. Pertama kali saya melihat buku ini, saya tertarik pada desain sampulnya. Desain sampul sederhana tapi elegan. Sampul kuning di buku RMA 1 ini membuat kesan ceria sesuai dengan isi buku. Bayi saya yang sudah jatuh cinta pafa pandangan pertama, begitu tertarik pada sampul maka saya pun langsung tertarik ingin seger...