Dibesarkan
dalam lingkungan dan latar belakang yang berbeda membuat banyak perbedaan
kebiasaan antara saya dan suami. Perbedaan memang hal wajar dalam rumah tangga.
Perbedaan itu pula yang harus kita sikapi dengan positif. Salah satu perbedaan
yang kadang bikin saya geregetan adalah
masalah makanan. Dulu suami memiliki pola makan yang sangat tidak teratur,
tidak pernah sarapan dan gemar mengkonsumsi mie instan. Saya kebalikannya,
sarapan adalah hal wajib bagi saya sebelum melakukan kegiatan dan mie instan
adalah makanan yang paling anti dalam pola makan saya. Hal ini bisa jadi
dianggap sebagai hal sepele, namun bagi saya sangat penting.
Beberapa
kali suami sering tidak sarapan dan baru makan setelah pukul 14.00 atau bahkan
setelah tiba di rumah pukul 16.00 atau 17.00. Saya miris membayangkan bagaimana
suami saya bekerja tanpa asupan makanan yang memadai di pagi hari. Suami pada
dasarnya juga keras kepala, kadang sudah diingatkan untuk makan atau mau dibawakan
bekal, alasannya selalu karena tidak sempat. Berkali-kali diingatkan pun
demikian. Ketika di rumah ibu, suami mau diajak sarapan. Mungkin maksudnya
menghormati karena sudah disediakan, dan ibu saya juga cerewet sekali masalah
sarapan ini.
Qodarullah., ketika malam Minggu kemarin
kami menginap di rumah ibu, dan terkuaklah kebiasaan suami yang tak mau
sarapan, suami saya diceramahi macem-macem. Saya di sampingnya tertawa jahat
sambil menyeringai, walaupun saya juga kena ceramah karena siap-siap sarapan
kurang pagi.
Semenjak
itu, dimulailah komunikasi masalah sarapan. Mulai hari Senin saya bertekad
untuk siap-siap lebih pagi, supaya suami sempat sarapan. Tiap hari saya sounding (lebih tepatnya cerewet.. hehe)
supaya ia mau membiasakan sarapan. Suami pasrah-pasrah aja sambil iya, iya.
Selama tiga
hari ini saya berusaha menyelesaikan memasak lebih awal. Di samping
mengingatkan, saya juga memasang muka memelas supaya suami mau menghargai
masakan saya. Dalam komunikasi kami, komunikasi saya ke suami memang lebih
tersampaikan dengan bahasa tubuh. Hasilnya suami sudah mulai mau membiasakan
sarapan, harapan saya sih bisa terus bukan di awal-awal ini saja.
Selain
sarapan, urusan makanan yang tak kalah bikin geregetan adalah mie instan. Berdasarkan pengakuannya sendiri, dulu suami bisa makan sampai lima kali dengan menu mie instan. Saya yang notabene penggemar healthy food hanya mengelus dada, prihatin. Masalah pembatasan mie
instan memang sudah saya lakukan sejak awal-awal menikah. Dan saat ini lebih
saya batasi lagi, yang dulu boleh mie instan seminggu sekali, sekarang jadi
sebulan sekali. Agak kejam sih, karena kadang suami sampai memohon-mohon makan
mie instan. Kalau sedang begitu, saya diam aja no comment sambil pasang muka sedih dan gak ikhlas. Karena percuma
saja saya cerewet, suami justru akan membalas dengan bantahan “Kalau
mie instan bahaya. Ngapain sampai sekarang masih banyak yang jual? Harusnya
pabriknya udah tutup,”. Nah loo... kalau udah begini saya tak berkutik,
jadi mending diam aja dan mimik mukanya diatur sedemikian rupa sehingga. Sekali
lagi, kekuatan bahasa tubuh menjadi jurus terjitu untuk berkomunikasi dengan
suami (tapi tentu tidak semua masalah dengan bahasa tubuh.. hehe).
Kebiasaan
pola makan yang sangat berseberangan antara saya dan suami menjadi PR
tersendiri. Melalui komunikasi yang intens
dan terus menerus harapannya dapat menyatukan perbedaan masalah makanan
ini. Memang saat ini masih banyak penyesuaian. Harapan saya suami dapat
mengikis kebiasaan buruknya dalam hal pola makan.
#hari7
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Komentar
Posting Komentar
Thank you for visiting... 😁😁