Sebelum
menulis lebih panjang, sebelumnya mungkin perlu ada persamaan persepsi tentang
apa itu Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Menurut Wikipedia.com, RPTRA adalah konsep ruang publik berupa ruang terbuka hijau
atau taman yang dilengkapi dengan berbagai permainan menarik, pengawasan CCTV,
dan ruangan-ruangan yang melayani kepentingan komuniti yang ada di sekitar
RPTRA tersebut, seperti ruang perpustakaan, PKK Mart, ruang laktasi, dan
lainnya. RPTRA ini mulai dibangun di beberapa kota besar yang memiliki
kepadatan penduduk tinggi. Pembangunan RPTRA di wilayah perkotaan, terutama
karena alasan lahan bermain anak yang minim, sehingga pemerintah daerah merasa
perlu membangun RPTRA.
Lantas,
apakah RPTRA ini hanya untuk warga perkotaan saja? Menurut saya, RPTRA pun
perlu dibangun di wilayah pedesaan. Anak-anak di pedesaan pun butuh ruang
publik yang dilengkapi dengan permainan menarik. Kondisi pedesaan saat ini
dibandingkan dengan kondisi pedesaan ketika saya masih kecil sudah sangat
berbeda, Dahulu, anak-anak masih sering terlihat bermain di ruang terbuka,
berlarian di sawah, mencari ikan di sungai, atau hanya bermain gobag sodor di halaman. Suasana saat itu
memang mendukung anak untuk aktif bermain di ruang terbuka, karena di dalam
rumah anak tak punya hiburan yang berarti kecuali televisi. Pun demikian, acara
televisi anak-anak hanya ada di hari Minggu, atau sore hari di hari
Senin-Jumat, di luar jam itu, acara TV kurang diminati anak-anak. Kondisi tersebut
berbeda dengan kondisi saat ini. Sekarang, saya sudah jarang menemukan
anak-anak bermain di ruang terbuka. Hal ini bisa dikarenakan hiburan di dalam
rumah sudah cukup menarik, sehingga anak-anak merasa tidak perlu ke luar rumah.
Cukup di dalam rumah, main game,
chatting, atau menonton film. Akibatnya, kemampuan motorik anak terbatas
dan kemampuan sosialisasinya berkurang.
Bermain
di ruang terbuka sudah dianggap tidak menarik lagi bagi anak. Anak-anak butuh
ruang tersendiri untuk bermain demi mengasah kemampuan motoriknya. RPTRA ini
bisa jadi salah satu solusi untuk menyediakan ruang khusus bagi anak untuk
mengeksplor kemampuan motorik, sekaligus sosialisasinya. RPTRA bisa digunakan
sebagai sarana bagi anak untuk bersosialisasi dengan teman lain atau sarana
mengenal lingkungan secara lebih dekat. RPTRA juga dilengkapi dengan
perpustakaan dan ruang-ruang yang bisa digunakan oleh komunitas, sehingga ruang
belajar anak semakin luas. Beberapa kegiatan komunitas seperti kegiatan
melukis, bermain peran, membuat kerajinan, bercerita, atau kegiatan lainnya
dapat diadakan di RPTRA ini.
Mungkinkah
RPTRA dibangun di pedesaan? Tentu saja sangat mungkin. Di tahun 2017, Pemerintah telah
menggelontorkan dana desa sebesar Rp 60 triliun untuk 74.958 desa dan 8.340 kelurahan
(Kompas, 2018). Dana tersebut tentu cukup besar untuk pembangunan desa. Presiden
Joko Widodo juga sudah menginstruksikan bahwa program dana desa dan proyek
infrastruktur pada kementerian/lembaga, harus berorientasi pada pembukaan
lapangan pekerjaan. Hal ini tentu menjadi stimulus
semangat bagi masyarakat desa untuk membangun desanya seoptimal mungkin.
Terkait
dengan instruksi presiden tentang dana desa dan ide pembangunan RPTRA, menurut
saya bisa klop untuk kemudian
direncanakan. Pembangunan RPTRA bisa menggunakan sistem swakelola masyarakat
desa setempat baik perancang desain bangunan, buruh bangunan maupun mandornya.
Desa tidak perlu menyewa kontraktor dari luar, namun memberdayakan kemampuan
masyarakat sendiri. RPTRA bisa dibangun di tempat-tempat tertentu yang bebas
(milik publik) atau milik pribadi
yang dibeli pemerintah desa. Pemanfaatan tenaga dan kerja sama dengan
masyarakat desa sendiri bisa lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak. Selain
keuntungan dari segi dana, masyarakat juga bisa merasakan keuntungan dengan
dibangunnya RPTRA. Pembangunan RPTRA bisa menjadi ruang bagi masyarakat untuk
bersosialisasi sekaligus sarana mendidik anak-anak.
#tantanganODOP7
#ODOPbatch6
#komunitasonedayonepost
#fiksi
#lombablogkemenkeu
Komentar
Posting Komentar
Thank you for visiting... 😁😁