Langsung ke konten utama

Lorong Waktu Kanak-kanak [3]

[,,,]


Bapak dan Ibuku tidak pernah memaksaku untuk belajar. Bahkan jika dirunut melalui teori perkembangan anak, umurku belum tepat untuk diajari membaca dan menulis. Umur tersebut masih tahap belajar sambil bermain. Tapi keingintahuanku yang begitu besar, membuatku menguasai membaca dan menulis lebih awal dari teori perkembangan anak. Pun demikian, aku tak pernah merasa waktu bermainku terbengkalai, aku juga tak pernah merasa kesulitan selama belajar. Aku tetap bermain dengan puas, dan aku selalu bahagia setiap Ibu mengajariku membaca dan menulis. Kemampuan itu membuatku sama sekali tidak mengalami kesulitan ketika sudah memasuki SD. Ketika Bu Guru mulai mengajarkan membaca huruf demi huruf, aku sudah sangat memahaminya sehingga aku dimasukkan dalam kelompok lancar membaca. Zaman SD ku dulu, Bu Guru membagi kelas 1 menjadi dua kelompok: kelompok A lancar membaca dan kelompok B kurang lancar membaca. Tempat duduk kami dipisah, nyaris 50:50 antara anak yang lancar membaca dan kurang lancar membaca. Jika masuk kelompok kurang lancar membaca, bersiaplah untuk mengulang belajar di kelas 1 setahun lagi.
Walau sudah masuk SD, aku masih menjadi pelanggan setia perpustakaan Bapak. Jika bacaanku sudah habis, aku berpesan pada Bapak untuk membawakanku buku cerita dari sekolahnya. Di sekolahku, perpustakaan tak pernah buka. Aku tidak bisa meminjam buku di sekolahku sendiri. Bisa jadi buku-buku di perpustakaan sekolahku sudah berdebu sampai setebal 1 meter. Kalau Bapak tidak kelupaan, aku bisa mendapat 3-4 buku sekaligus. Menyenangkan sekali ketika sudah bisa menyelesaikan membaca satu buku. Aku tidak hanya menyukai buku cerita, buku pelajaran pun aku suka. Apalagi buku sains. Aku mulai tertarik pada sains sejak duduk di kelas 3, ketika aku pertama kalinya mendapat pelajaran IPA.
Di masa-masa SD ini, Bapak semakin gencar mengenalkanku pada buku. Aku mulai dikenalkan dengan majalah anak-anak “Bobo” yang populer kala itu. Bukan main senangnya aku dengan majalah itu. Setiap Bapak ke luar kota, titipanku adalah majalah kesayangan ini bukan yang lain. Demi berhemat, Bapak membelikanku majalah-majalah bekas. Antara majalah baru dan majalah bekas, cukup jauh rentang harganya. Beli majalah baru satu, bisa membawa enam majalah bekas. Aku tak pernah protes ketika Bapak membelikanku majalah bekas, bahkan ada majalah bekas sejak tahun 1970-an. Bagiku yang terpenting adalah aku punya bacaan baru setiap hari. Kalau sedang beruntung, Bapak bisa mendapat majalah bekas yang tahunnya agak baru yaitu kisaran tahun 2000-an. Moment diajak Bapak membeli majalah bekas, selalu menjadi hal yang paling menyenangkan. Setelah tumpukan majalah bekas berhasil dibeli, maka sampai rumah aku akan diam menyendiri menyelesaikan membaca lembar demi lembar.



#komunitasonedayonepost
#ODOP_6

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Rumahku Madrasah Pertamaku"

Judul Buku : Rumahku Madrasah Pertamaku (Panduan Keluarga Muslim dalam Mendidik Anak) Penulis : Dr. Khalid Ahmad Syantut Penerbit : Maskana Media (Imprint Pustaka Rumah Main Anak) Cetakan : kedua, Januari 2019 Jumlah Halaman : 184 halaman Pertama kali melihat iklan masa PO buku ini, saya langsung tertarik untuk memesannya. Saya memang senantiasa tertarik pada buku parenting . Ketidaksempurnaan dalam diri saya membuat saya ingin terus memperbaiki supaya kelak saya bisa mendidik anak-anak sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul inginkan. Setelah menunggu selama kurang lebih dua minggu, akhirnya buku ini berada di pelukan saya. Desain dan layout buku yang menarik membuat saya ingin segera membacanya. Kemudian, saya bacalah buku ini, mengalahkan tumpukan buku lain yang belum sempat terbaca. "Rumahku Madrasah Pertamaku" begitulah judul buku ini. Sesuai dengan judulnya, buku ini mengingatkan saya kembali tentang betapa berpengaruhnya lingkungan rumah terhadap karakter a...

Review: Smart Hafiz Mempersiapkan Si Kecil Anti Smartphone

Akhir-akhir ini sering saya lihat anak-anak sudah susah terlepas dari gawai. Gawai yang mereka pakai biasanya jenis smartphone. Tak hanya anak-anak, balita bahkan batita juga sering saya lihat mulai menggunakan barang elektronik ini. Bagi saya, hal tersebut kurang mendidik. Anak-anak terutama balita seharusnya bermain untuk melatih kemampuan motorik mereka. Anak-anak yang lebih besar seharusnya bisa membangun interaksi dengan teman sebaya maupun orang di sekitarnya, bukan bersifat antisosial. Nah., latihan kemampuan motorik dan membangun kemampuan sosial ini yang tidak ditemukan dalam smartphone. Anak-anak cenderung pasif ketika menggunakan sartphone. Apalagi jika smartphone tersebut terhubung dengan internet. Anak usia 3 tahun pun bisa mengakses Youtube dan berselancar mencari video-video yang disukainya. Jika sudah terlanjur demikian, anak akan susah disapih dari benda bernama smartphone ini. Ketika kita ingin menyapih anak dari smartphone tantangannya lebih besar dibanding...

Review Rumah Main Anak

Judul Buku : Rumah Main Anak Penulis : Julia Sarah Rangkuti Penyunting :  Rizka Azharini, S. Kep. Penyelaras Akhir : Tyas Choirunnissa, S. Hum. Tata Letak : Jogja Layouter Tim Desain Sampul : Dyna Fitria, S. Si. Diterbitkan oleh : Sahabat Sejati Publishing Jumlah Halaman Buku : 334 halaman Cetakan, Tahun Terbit : 5, September 2017 Apa itu Rumah Main Anak? Saya mengetahui buku ini sejak awal masuk di kelas Bunda Sayang, Ibu Profesional. Waktu itu ada seorang teman yang merekomendasikan buku RMA untuk teman bermain anak-anak. Saya langsung tertarik dan membeli buku RMA ini lengkap dengan RMA edisi kedua. RMA yang akan saya review adalah RMA 1. Pertama kali saya melihat buku ini, saya tertarik pada desain sampulnya. Desain sampul sederhana tapi elegan. Sampul kuning di buku RMA 1 ini membuat kesan ceria sesuai dengan isi buku. Bayi saya yang sudah jatuh cinta pafa pandangan pertama, begitu tertarik pada sampul maka saya pun langsung tertarik ingin seger...