Sampah memang selalu menjadi permasalahan yang tak kunjung usai. Seolah masalah sampah ini tak pernah putus. Alih-alih dihilangkan, sampah hanya berpindah tempat saja. Sampah yang awalnya berada di lingkungan domestik kemudian berpindah ke TPA. Di TPA sampah menggunung, menimbulkan masalah baru demikian seterusnya. Maka slogan "Buanglah Sampah Pada Tempatnya" saat ini dirasa kurang tepat dan tidak menyelesaikan masalah.
Sampah selalu menjadi PR bagi semua masyarakat, tak hanya di negara kita bahkan masyarakat dunia pun mempunyai masalah terkait sampah ini. Masalah sampah yang hendak saya kupas adalah sampah popok sekali pakai (pospak). Pospak hampir pasti menjadi kebutuhan para ibu yang memiliki bayi. Saya sering melihat ibu-ibu membeli pospak dalam jumlah besar. Bahkan para ibu ini rela mengembara ke berbagai supermarket demi diskon pospak. Pospak seolah menjadi kebutuhan primer para ibu yang memiliki bayi dengan dalih menjaga kewarasan.
Jika dihitung secara kasar, kebutuhan pospak pada bayi berdasarkan umur adalah sebagai berikut.
1. Bayi baru lahir = 12 buah x 30 hari x 3 bulan = 1080 buah
2. Usia 4-6 bulan = 8 buah x 30 hari x 3 bulan = 720 buah
3. Usia 7-24 bulan = 5 buah x 30 hari x 17 bulan = 2550 buah
Maka, total kebutuhan pospak seorang bayi sejak lahir hingga umur dua tahun adalah 4350 buah. Itu baru perhitungan kasar loh, jumlahnya bisa lebih atau kurang. Bayangkan jika paling tidak di sebuah komplek ada 10 bayi. Kurang lebih 43.500 pospak dibuang selama dua tahun. Bagaimana jika pengguna pospak tersebut membuangnya ke sungai? Seperti apa kondisi sungai dengan ribuan pospak di dalamnya? Padahal pospak membutuhkan waktu 500 tahun lebih untuk terurai. Satu pospak yang kita buang hari ini baru akan terurai dari bumi setelah 500 tahun. Waktu yang sangat lama.
Berdasarkan riset World Bank tahun 2017, 21% komposisi sampah laut adalah pospak. Angka tersebut cukup besar dan mengkhawatirkan. LSM Ecological Observation and Wetlands Coversation menyatakan bahwa sebanyak 3 juta pospak dibuang di aliran Sungai Brantas, Jawa Timur. Jumlah 3 juta ini baru tercatat di Sungai Brantas saja, belum di daerah lain. Bagaimana jumlah sampah pospak dalam satu kabupaten? Satu provinsi? Satu dunia? Bagaimana jika sampah pospak dihitung selama bertahun-tahun? Serta bagaimana jika kondisi ini tidak berubah? Sulit membayangkan betapa banyaknya sampah pospak yang menumpuk.
Sampah pospak sangat mencemari lingkungan. Keberadaannya cukup merusak ekosistem dan biota laut. Pencemaran akibat pospak menyebabkan proses reproduksi ikan terganggu. Belum lagi berbagai penyakit yang ditimbulkan akibat bakteri E. coli yang sering terbawa dalam pospak. Sampah pospak otomatis membahayakan lingkungan sekaligus makhluk hidup lain.
Akhir-akhir ini pernah ada berita tentang isi perut ikan paus yang mati terdampar. Setelah dibedah ternyata perut mereka mirip seperti TPA. Banyak sampah plastik di dalamnya. Melihat yang demikian, saya merasa miris. Betapa egoisnya kami para manusia. Tujuan penciptaan manusia adalah sebagai khalifah di bumi. Pantaskah seorang khalifah bertindak zalim pada bumi tempat tinggalnya?
Niat awal demi menjaga kewarasan ibu harus dibayar dengan berbagai kerusakan lingkungan. Bijaksanakah yang demikian itu? Padahal kewarasan tidak hanya melalui perantara pospak semata. Sepertinya para ibu harus mulai membuka mata, hati, dan telinga untuk kembali meluruskan niat. Sejenak kita perlu memikirkan untuk keluar dari zona nyaman yang lebih ramah lingkungan. Toh.. penjagaan kita terhadap lingkungan adalah untuk diri kita sendiri dan anak cucu kita kelak.
Jika suatu saat kita ditanya di akherat tentang kontribusi kita di bumi. Setidaknya menjaga lingkungan bisa menjadi salah satu jawaban yang mungkin menambah amal baik kita.
-Temanggung, 6 Februari 2019-
Komentar
Posting Komentar
Thank you for visiting... 😁😁