Langsung ke konten utama

Belajar di Era Pandemi


Pandemi. Kejadian yang tidak pernah terbersit dalam pikiran saya. Tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ketika diberlakukan kegiatan Work from Home dan Study from Home pada Maret 2020 lalu, saya pikir dalam 2 pekan semua akan kembali normal. Semua akan baik-baik saja. Virus COVID-19 tidak akan masuk hingga pelosok daerah. Semua akan selesai seiring berjalannya waktu, seperti kasus flu burung dan flu babi beberapa tahun silam. Dulu ketika masih anak-anak, pernah juga santer diberitakan virus mematikan yaitu SARS. Saya pun membaca tentang keganasan virus ini di majalah-majalah anak. Banyak diberitakan memang, namun tak sampai membuat saya harus belajar di rumah. Semua tetap berjalan normal.

Kini, sebuah virus berhasil memporak porandakan tatanan negara. Oh.. bukan negara lagi, tetapi dunia. Virus yang katanya tak lebih ganas dari SARS atau MERS atau ebola nyatanya berhasil membuat penduduk dunia kalang kabut dan diliputi kegelisahan. Betapa Allah mudah sekali membuat manusia tidak berdaya. Hanya melalui perantara makhluk super kecil bernama virus. Bahkan dalam pelajaran biologi dikatakan bahwa virus bukan makhluk hidup, bukan pula makhluk tak hidup. Struktur tubuhnya sederhana. Dia hanya mampu hidup jika ada makhluk hidup yang ditempeli, jika tidak maka virus hanyalah benda mati. Dan sekarang kehidupan kita sedang dipertaruhkan oleh makhluk tersebut. Subhanallah..

Dari hari ke hari pemberitaan semakin meresahkan masyarakat. Apalagi melihat kondisi Indonesia yang semakin tak jelas ke mana arahnya. Mulai dari sifat keras kepala yang mendera, aturan yang plin plan, komentar pedas warganet yang semakin menjadi, hingga kegalauan sistem pendidikan akibat Study from Home. 

Baiklah.. karena bidang saya adalah pendidikan, saya akan membahas seputar Study from Home. Apakah yang terbersit di benak Anda dengan istilah Study from Home? Belajar dari rumah. Ya., anak-anak belajar dari rumah, tetap dengan pengawasan guru dibantu dengan orang tua di rumah. Hal ini menjadi tantangan tersendiri di dunia pendidikan. Bagaimana tidak? Sistem pendidikan kita tidak pernah disiapkan terkait hal ini. Pelatihan pembelajaran daring hanya sebatas pelatihan yang kemudian menguap setelah sertifikat berhasil diraih. Selain itu, kurikulum yang berlaku juga tidak disiapkan untuk pembelajaran daring. Anak-anak dan guru belum pernah sama sekali mencoba belajar dengan sistem daring yang sesungguhnya. Artinya apa? Sistem pendidikan kita tidak siap untuk pembelajaran daring, baik dari segi manusia maupun sumber daya pendukungnya.

Coba kita amati fenomena yang muncul dalam pembelajaran daring. Fenomena orang tua yang hilang kesabaran menghadapi anak, anak-anak yang stres karena tugas yang menumpuk, guru yang kebingungan hendak mengajar dan mengevaluasi dengan cara apa, kebosanan yang melanda baik guru, orang tua maupun anak, serta berbagai fenomena lainnya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Mari kita analisis satu per satu!

Anak-anak terbiasa belajar di sekolah. Ia bertemu dengan teman-teman, bebas bercanda dan bergerak. Kemudian, dunianya berubah. Bergerak hanya sebatas petak rumah. Bertemu hanya sebatas pada orang-orang di dalam rumah. Sehari dua hari atau sepekan, mungkin belum menjadi masalah bagi mereka. Tapi bagaimana jika lebih dari itu? Orang tua pun demikian, mereka terbiasa mempercayakan sekolah untuk kegiatan belajar anak. Tak terlalu memikirkan materi belajar anak. Anak kesulitan tinggal mengikutkannya di bimbingan belajar. Simpel. Kini orang tua harus menghadapi anak-anak mereka sendiri. Menjadi tempat bertanya anak hingga membantu mengajarkan beberapa materi kepada anak. Sampai kapan para orang tua ini bisa bertahan? Guru, terbiasa melakukan rutinitas mengajar di sekolah. Berangkat pagi pulang sore. Sampai rumah saatnya family time. Fokus mengurus keluarga. Kini, tiada jam kerja tertentu. Namun pekerjaan seolah datang tiada henti. Kolaborasi pekerjaan ranah publik dan domestik tidak berhenti mendera. Waktu 24 jam seolah tak cukup. Bisakah para guru tetap waras menghadapi semua ini?

Setidaknya itulah masalah-masalah umum yang timbul. Tidak ada yang enak. Semua tertekan dengan masalah personal masing-masing. Semua bosan, semua lelah, semua merasa tak berdaya. Tapi, bukankah Allah menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna? Paling adaptif dan paling solutif? Pasti ada solusi dalam mengatasi semua ini.
***

Beberapa hari lalu, saya mendengarkan cerita Pak Dodik di acara Obrolan Dapur Ibu. Pak Dodik ini merupakan founder Padepokan Margosari di Salatiga sekaligus aktivis homeschooling. Di acara tersebut, Pak Dodik mengatakan bahwa "Saat ini kita berada di kondisi tidak normal. Kurikulum yang berlaku di sekolah adalah kurikulum yang dapat diterapkan dalam kondisi normal. Maka tidak mungkin kurikulum normal dapat diterapkan secara penuh dalam kondisi tidak normal". Apakah Anda setuju dengan pernyataan Pak Dodik?

Saya setuju dengan pernyataan Pak Dodik. Kurikulum sekolah yang lazimnya diterapkan dalam kondisi normal, tak akan bisa diterapkan dalam kondisi tak normal. Bukannya Mendikbud juga mengatakan bahwa sekolah tak perlu mengacu kurikulum dalam kondisi pandemi ini? Memaksakan kurikulum hanya akan membuat stres banyak pihak, baik anak, guru maupun orang tua.

Selama ini yang terjadi adalah orang tua stres karena tidak mampu mengajari anaknya belajar. Anak merasa kesal karena orang tua tak membantu, akhirnya tugas sekolahnya dikerjakan orang lain. Guru pusing melakukan evaluasi karena satu kelas mendapatkan nilai 100. Secara psikologis, iklim belajar yang demikian akan mengecewakan anak-anak yang pandai secara akademik dan membuai anak-anak yang malas. Dilematis bagi guru. Dilematis karena pemahaman belajar hanya terpatok pada materi dan evaluasi hanya berkisar pada kolom angka akademik.

Cobalah kita mengubah mindset tentang belajar! Bahwa belajar bukan semata-mata hitam di atas putih dan nilai bukan semata-mata kemampuan akademik. Saya ingat, guru Matematika di SMP pernah mengajar tentang hakikat belajar. Belajar adalah proses dari tidak tahu menjadi tahu. Sederhana bukan? Segala sesuatu yang belum diketahui seseorang, kemudian ia melakukan suatu proses yang membuatnya tahu, itu sudah dapat dikatakan belajar. Belajar bukan serta merta satu ditambah satu sama dengan dua, tapi bisa lebih luas dari itu.

Salah satu penyebab stres yang dialami orang tua karena mereka tidak mampu mengajari materi-materi yang dipelajari anak. Wajar sih kalau menurut saya. Memang tidak semua orang tua memiliki kompetensi mengajar. Tidak semua orang tua ingat dengan materi belajar, meski dulu pernah dipelajari. Tidak mungkin menuntut semua orang tua untuk kompeten mengajar, meski mengajar anak mereka sendiri. Memaksakan mereka mengajarkan materi pelajaran hanya akan menimbulkan masalah antara anak dan orang tua.

Ketika guru memaksakan anak harus belajar dari buku halaman sekian sampai sekian, dengan harapan orang tua dapat membantu mengajari, maka yang terjadi justru ketegangan. Percuma. Target kurikulum tak tercapai. Psikologis anak, orang tua, bahkan guru menjadi terganggu. Mari kita kembali kepada definisi belajar pada dua paragraf sebelumnya. Belajar itu dari tidak tahu menjadi tahu. Hal sederhana pun bisa menjadi bahan belajar anak. Saya buat sebuah gambaran tentang belajar yang menyenangkan.



Miko adalah anak seorang petani. Selama pandemi, tak ada yang menemaninya belajar. Kedua orang tuanya bekerja di ladang. Belajar di rumah semakin menyulitkan manakala kedua orang tuanya tak bisa membantu mengajari Miko ketika mendapat kesulitan. Kejadian yang dialami Miko mungkin banyak dialami oleh murid-murid lain. Namun, semua akan menjadi menyenangkan ketika guru memberikan arahan yang berbeda. Guru bisa berkoordinasi dengan orang tua untuk mengajarkan segala sesuatu yang mereka ketahui kepada anak-anak mereka. Tidak peduli apapun materi atau keterampilan yang mungkin orang tua ajarkan. Hal terpenting adalah orang tua mengajarkan sesuatu kepada anak. Hasil belajar bersama orang tua dapat didkomentasikan dalam bentuk cerita, video, atau rekaman suara. Guru fokus menilai pada proses dan semangat belajarnya, bukan hasil akhirnya. Sederhana bukan?

Contoh kasus Miko. Orang tua Miko mengajak Miko untuk belajar di sawah. Di sana Miko dapat belajar cara menanam, cara memanen, cara memberi pupuk, cara irigasi, dan berbagai hal terkait pertanian langsung dari ahlinya, yaitu Bapak Miko sendiri. Contextual learning langsung dari ahlinya. Hebat bukan?! Ini pun bisa diterapkan pada pekerjaan-pekerjaan yang lain. Orang tua pun akan lebih enjoy mengajari anaknya, karena yang dia ajarkan adalah sesuatu yang menjadi keahliannya. Di sela-sela belajar, orang tua dapat menyisipkan wejangan kepada anak. Lebih bermakna, karena nasehat itu diberikan dalam situasi tenang dan senang.

Apakah hal tersebut belajar? Tentu saja! Bahkan anak mendapatkan lebih banyak dari yang ia pelajari di sekolah. Siapa tahu dari hasil belajar bersama orang tua, akan meninggalkan kenangan bahagia bagi alam bawah sadarnya. Kenangan bahagia ini sangat berharga. Bisakah pembelajaran daring diarahkan demikian?

Setiap manusia unik. Demikian pula dengan anak dan orang tua. Sekolah, tenaga kependidikan tidak dapat memaksakan anak-anak dan orang tua menjadi sama sesuai tuntutan kurikulum. Tak semua orang tua berpendidikan tinggi, tak semua orang tua kompeten mengajar, tak semua orang tua punya waktu luang. Saya yakin mereka sayang pada anak-anak mereka. Sejatinya, orang tua pun ingin mengajari anak-anaknya. Namun apa daya, kadang kemampuan dan keinginan tak sejalan. Mereka perlu diberi motivasi supaya tetap mendampingi anak-anak mereka selama Study from Home. Orang tua perlu dikuatkan bahwa mereka mampu mendampingi, mereka mampu melakukan yang terbaik. Tinggikan harga diri mereka dengan memuji kemampuan dan keterampilan masing-masing orang tua. Yakinkan bahwa anak-anak akan sangat menyukai kegiatan belajar bersama orang tua


 Badai pasti berlalu. Demikian pula dengan pandemi ini. Namun, jangan sampai selepas badai kita menjadi orang-orang yamg bingung tanpa arah. Pun demikian dengan anak-anak. Jangan sampai mereka kehilangan ghiroh belajar selepas pandemi. Maka yang perlu kita lakukan adalah menjaga semangat belajar mereka. Buatlah mereka senang dengan aktivitas belajar! Buatlah mereka bahagia dengam aktivitas belajar! Buatlah mereka butuh belajar dan senantiasa haus akan ilmu! Lupakan sejenak kurikulum! Yang penting anak-anak BELAJAR dan SENANG!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Tong Setan dalam Tinjauan Fisika

Faktor-faktor yang Menyebabkan Pengendara Sepeda Motor Tidak Jatuh pada Permainan Tong Setan Tong setan adalah permainan atraksi sepeda atau sepeda motor yang bergerak di dalam tong berukuran raksasa. Permainan tong setan dapat dijumpai di pasar malam yang biasanya sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Permainan tong setan menjadi menarik karena pengendara sepeda atau sepeda motor tidak terjatuh ketika mengendarai sepeda atau sepeda motor mengelilingi tong. Hal ini ternyata dapat pula dijelaskan secara ilmiah melalui bidang fisika. Fenomena yang terjadi pada tong setan adalah contoh gerak melingkar beraturan. Gerak melingkar beraturan ini menimbulkan gaya sentral yaitu gaya sentripetal. Gaya sentripetal adalah gaya yang menarik benda ke arah pusat lingkaran supaya tetap melingkar pada lintasannya (Sariyanti, 2011). Selain gaya sentripetal, pada gerak melingkar beraturan juga berlaku gerak sentrifugal. Gerak sentrifugal ini berlawanan arah dengan gerak sentripetal. Adanya

Review: Smart Hafiz Mempersiapkan Si Kecil Anti Smartphone

Akhir-akhir ini sering saya lihat anak-anak sudah susah terlepas dari gawai. Gawai yang mereka pakai biasanya jenis smartphone. Tak hanya anak-anak, balita bahkan batita juga sering saya lihat mulai menggunakan barang elektronik ini. Bagi saya, hal tersebut kurang mendidik. Anak-anak terutama balita seharusnya bermain untuk melatih kemampuan motorik mereka. Anak-anak yang lebih besar seharusnya bisa membangun interaksi dengan teman sebaya maupun orang di sekitarnya, bukan bersifat antisosial. Nah., latihan kemampuan motorik dan membangun kemampuan sosial ini yang tidak ditemukan dalam smartphone. Anak-anak cenderung pasif ketika menggunakan sartphone. Apalagi jika smartphone tersebut terhubung dengan internet. Anak usia 3 tahun pun bisa mengakses Youtube dan berselancar mencari video-video yang disukainya. Jika sudah terlanjur demikian, anak akan susah disapih dari benda bernama smartphone ini. Ketika kita ingin menyapih anak dari smartphone tantangannya lebih besar dibanding

Kajian Teoretis, Apa dan Bagaimanakah Allantoin Itu?

a.       Allantoin 1)       Karakteristik dan Sifat Allantoin Allantoin adalah senyawa kimia alami yang dihasilkan oleh banyak organisme, termasuk hewan, bakteri dan tanaman. Allantoin dapat disintesis dari hewan maupun tumbuhan serta dianggap   aman dan tidak beracun. Allantoin berasal dari gabungan purin membentuk heterosiklik organik yang berasal dari gabungan purin (Gambar 1). Allantoin disbeut juga asam glikosiklik diuriede atau 5-Ureidhyantoin. Gambar 1.  Struktur Kimia Allantoin Allantoin, dalam bentuk murni berwarna putih, tidak berbau, berbentuk bubuk kristal, dapat larut di dalam air dan alkohol dan tidak larut dalam di eter. Indeks Merck menjelaskan allantoin sebagai hasil dari metabolisme purin. Allantoin bersifat   non racun, non iritasi dan non alergi. Allantoin memiliki memiliki berat molekul 158,12 dan kelarutan dalam air adalah 0,5% dalam suhu 25 o C (Akema, 2008). Allantoin dapat larut dalam air