Langsung ke konten utama

Peran Ibu di Era Kemerdekaan


Ada sebuah kalimat yang bisa kita gunakan sebagai refleksi, “bagus atau tidaknya suatu generasi bergantung pada ibu-ibu di negara tersebut”. Kalimat itu menggelitik karena cakupan dan pembahasannya bisa menjadi panjang. Saya mengajak teman-teman semua untuk merefleksi, apakah kondisi generasi di negara kita yang katanya merdeka ini sudah ideal? Kemudian ditelaah, dari kondisi generasi kita sekarang apakah sudah dilatarbelakangi oleh peran ibu yang ideal pula? Tentu pembahasan dalam lingkup ini dalam skala umum, karena tidak mungkin semua orang dalam satu negara itu jelek atau bahkan semuanya baik.

Baru-baru ini negara kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-72, 72 tahun tentu bukan waktu yang singkat untuk menata sebuah negara bekas jajahan sampai 3,5 abad lebih. Setiap tahun pekik kemerdekaan dikumandangkan semua lapisan masyarakat, sebagian merayakannya dengan suka cita. Secara de facto tanah kita bukan lagi tanah jajahan. Tapi., apakah kita sudah benar-benar merdeka? Hati-hati., tanah boleh jadi bukan lagi tanah jajahan, tapi apakah yakin bahwa jiwa kita tidak dalam keadaan terjajah?


Keadaan jiwa yang terjajah ini efeknya lebih mengerikan karena berkaitan dengan moral dan perilaku. Kita bisa melihat saat ini, anak-anak sekolah kecanduan gadget, mereka lebih sedih ketika kuota habis dibandingkan dihukum guru karena lalai tidak mengerjakan PR. Mereka lebih nyaman berteman melalui media sosial, dibandingkan bermain bersama dalam dunia nyata. Hasilnya banyak kasus kejahatan yang dialami anak akibat penggunaan media sosial yang kurang bijak. Kita juga dapat melihat, lebih banyak pemuda yang meramaikan mall, cafe, bioskop dan tempat-tempat nongkrong lainnya dibandingkan pemuda yang meramaikan kajian ilmu. Kasus-kasus plagiat juga masih ditemukan di kalangan mahasiswa, baik di tugas sehari-hari maupun tugas akhir. Kemudahan teknologi membuat mereka mudah untuk copy paste dari berbagai sumber. Hal tersebut menandakan miskinnya literasi pemuda, mereka lupa bagaimana nikmatnya menuntut ilmu melalui telaah sumber, bukan sebatas copas. Mudahnya akses informasi kadang juga menjadi sarana permusuhan seiring dengan bebasnya berita-berita hoax. Sayangnya berita hoax itu bukannya dikaji, malah ditelan mentah-mentah sehingga efeknya mengakar.

Semakin maraknya kasus pelecehan seksual dan pedofilia, juga menambah daftar mengerikan perusakan generasi muda. Akhir-akhir ini banyak berita yang beredar tentang pelecehan seksual pada anak-anak, bahkan seusia TK. Bagaimana kondisi traumatis yang dialami anak ketika ia mengalami hal tersebut? Kondisi traumatis itu bisa semakin parah apabila tidak ada tindakan penyembuhan. Bayangkan saja umur 5 tahun sudah ada trauma, sementara masih ada puluhan tahun ke depan yang harus ia jalani disertai tugas-tugas perkembangannya. Akan jadi apa ia dalam puluhan tahun itu apabila kondisi ini masih terus terjadi?. Masalah LGBT juga saat ini mulai disorot masyarakat. Awalnya saya tidak begitu percaya bahwa kasus ini banyak terjadi terutama di lingkungan kampus. Tapi ternyata, fenomena LGBT ini seperti gunung es, begitu banyak yang tak terlihat tapi aksinya nyata. Belum lagi kasus-kasus aborsi dan penggunaan narkoba yang masih saja terjadi di kalangan remaja.

Contoh-contoh di atas hanya sedikit sekali dari kasus-kasus yang menandakan jiwa generasi kita terutama generasi muda dalam keadaan terjajah. Mereka terjebak pada euforia kesenangan sesaat, kemudian lupa menimba ilmu. Mereka lupa, tanah ini diperjuangkan dengan kegigihan, kesungguhan, dan semangat yang tinggi bebas dari pengaruh-pengaruh perusakan jiwa. Memang ada banyak anak-anak Indonesia yang berprestasi, namun secara umum yang terlihat adalah kondisi seperti kasus di atas.

Lantas bagaimana peran ibu?
Ibu adalah pencetak generasi sekaligus madrasah pertama bagi anak, walaupun bukan yang utama (pendidikan utamanya terletak pada ayah). Mulailah dari proses yang baik, mulai dari memilih suami, menikah, dan merencanakan mempunyai anak. Anak yang berasal dari keluarga yang melalui proses baik, tentu berbeda dibandingkan anak yang lahir dari proses tidak baik (hamil di luar nikah misalnya). Jika kita ingin anak kita baik, anak kita soleh/solehah, ya mulailah dari diri kita. Tidak bisa kita mengharapkan mereka baik, tapi kita sendiri tidak memberi contoh. Maka cetaklah pribadi mereka dari awal dengan sebaik-baiknya. Kemudian, pahami fitrahnya karena masing-masing anak berbeda. Bukan dengan menerapkan semua ilmu parenting yang kita ketahui. Saat ini banyak ibu-ibu yang buru-buru menerapkan ini itu untuk anaknya setelah membaca buku, majalah, atau follow instagram. Semua ilmu yang kita dapat itu, tampung dulu kemudian dipilah, disesuaikan dengan kondisi anak kita.

Ini yang menarik, saya pernah membaca bahwa ibu-ibu di Palestina dengan tangguh membantu menyiapkan senjata perang untuk anak-anaknya menuju medan jihad. Kita memang tidak dalam sutuasi yang sama, tapi kita pun harus menyiapkan “senjata” bagi anak-anak dalam menuntut ilmu dan menghadapi dunia yang akan mereka hadapi. Bekali anak dengan akhlak, pertahanan diri, kejujuran, tanggung jawab, dan moral positif lainya. Pembekalan akhlak ini lebih mendalam jika diperankan ayah. Kita sebagai ibu berperan memoles akhlak itu setiap hari supaya benar-benar tertanam. Kemudian ini juga penting, ketika mereka sudah dalam usia baligh ikhlaskan diri kita untuk tidak terlalu membatasi dan memanjakannya. Ia sudah harus mampu bertanggung jawab pada keputusan yang ia ambil. Jangan jadikan generasi penerus kita sebagai generasi yang manja dan ketergantungan.


Hal-hal itu bisa optimal apabila kita sadar tentang bagaimana seharusnya seorang ibu. Bukan dilihat dari statusnya sebagai ibu rumah tangga atau ibu bekerja, tapi dilihat dari caranya mendidik. Toh, sekarang banyak juga ibu rumah tangga yang sehari-hari cuma di rumah sambil lihat-lihat online shop tanpa memperhatikan anaknya sedang apa. Jangan sampai kita hanya berstatus ibu, tapi tidak punya kurikulum pendidikan anak. Kita harus sudah menetapkan kurikulum mulai usia 0 tahun sampai ia siap menghadapi dunia sebenarnya. Jika semua ibu siap dengan kurikulum pendidikan anaknya secara optimal, yakinlah generasi penerus kita nanti akan bisa diselamatkan jiwanya dari kerusakan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Tong Setan dalam Tinjauan Fisika

Faktor-faktor yang Menyebabkan Pengendara Sepeda Motor Tidak Jatuh pada Permainan Tong Setan Tong setan adalah permainan atraksi sepeda atau sepeda motor yang bergerak di dalam tong berukuran raksasa. Permainan tong setan dapat dijumpai di pasar malam yang biasanya sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Permainan tong setan menjadi menarik karena pengendara sepeda atau sepeda motor tidak terjatuh ketika mengendarai sepeda atau sepeda motor mengelilingi tong. Hal ini ternyata dapat pula dijelaskan secara ilmiah melalui bidang fisika. Fenomena yang terjadi pada tong setan adalah contoh gerak melingkar beraturan. Gerak melingkar beraturan ini menimbulkan gaya sentral yaitu gaya sentripetal. Gaya sentripetal adalah gaya yang menarik benda ke arah pusat lingkaran supaya tetap melingkar pada lintasannya (Sariyanti, 2011). Selain gaya sentripetal, pada gerak melingkar beraturan juga berlaku gerak sentrifugal. Gerak sentrifugal ini berlawanan arah dengan gerak sentripetal. Adanya

Review: Smart Hafiz Mempersiapkan Si Kecil Anti Smartphone

Akhir-akhir ini sering saya lihat anak-anak sudah susah terlepas dari gawai. Gawai yang mereka pakai biasanya jenis smartphone. Tak hanya anak-anak, balita bahkan batita juga sering saya lihat mulai menggunakan barang elektronik ini. Bagi saya, hal tersebut kurang mendidik. Anak-anak terutama balita seharusnya bermain untuk melatih kemampuan motorik mereka. Anak-anak yang lebih besar seharusnya bisa membangun interaksi dengan teman sebaya maupun orang di sekitarnya, bukan bersifat antisosial. Nah., latihan kemampuan motorik dan membangun kemampuan sosial ini yang tidak ditemukan dalam smartphone. Anak-anak cenderung pasif ketika menggunakan sartphone. Apalagi jika smartphone tersebut terhubung dengan internet. Anak usia 3 tahun pun bisa mengakses Youtube dan berselancar mencari video-video yang disukainya. Jika sudah terlanjur demikian, anak akan susah disapih dari benda bernama smartphone ini. Ketika kita ingin menyapih anak dari smartphone tantangannya lebih besar dibanding

Kajian Teoretis, Apa dan Bagaimanakah Allantoin Itu?

a.       Allantoin 1)       Karakteristik dan Sifat Allantoin Allantoin adalah senyawa kimia alami yang dihasilkan oleh banyak organisme, termasuk hewan, bakteri dan tanaman. Allantoin dapat disintesis dari hewan maupun tumbuhan serta dianggap   aman dan tidak beracun. Allantoin berasal dari gabungan purin membentuk heterosiklik organik yang berasal dari gabungan purin (Gambar 1). Allantoin disbeut juga asam glikosiklik diuriede atau 5-Ureidhyantoin. Gambar 1.  Struktur Kimia Allantoin Allantoin, dalam bentuk murni berwarna putih, tidak berbau, berbentuk bubuk kristal, dapat larut di dalam air dan alkohol dan tidak larut dalam di eter. Indeks Merck menjelaskan allantoin sebagai hasil dari metabolisme purin. Allantoin bersifat   non racun, non iritasi dan non alergi. Allantoin memiliki memiliki berat molekul 158,12 dan kelarutan dalam air adalah 0,5% dalam suhu 25 o C (Akema, 2008). Allantoin dapat larut dalam air