Langsung ke konten utama

Cinderella Complex, Apa dan Bagaimana?

Cinderella Complex, Bagaimana Bisa Terjadi?

Setiap wanita memiliki kecenderungan Cinderella Complex, yaitu kecenderungan untuk bergantung pada orang lain yang lebih kuat, sehingga kemandiriannya berkurang. Dowling (dalam Padma: 2007) menyatakan bahwa wanita sebenarnya sangat membenci kecenderungannya untuk selalu bergantung pada orang lain dan menginginkan kemandirian. Mereka ingin bebas dari dominasi keluarga, suami atau atasan kerja, bebas membuat keputusan sendiri, serta bebas menentukan karir yang akan dijalani. Keinginan untuk bebas ini terkadang terhambat oleh keyakinan diri yang rendah atau memang dibatasi oleh syariat agama yang mengikat. Misalnya, agama Islam benar-benar mengatur ketat perihal wanita menikah yang bekerja. Harus terpenuhi syarat syariatnya sebelum bekerja, dan sebagainya.

Wulansari (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kecenderungan Cinderella Complex adalah konsep diri. Keyakinan yang tumbuh di dalam konsep diri perempuan karena adanya stereotipe gender dari lingkungan maupun faktor internal dapat memunculkan kecenderungan Cinderella Complex. Individu yang memiliki konsep diri positif dapat lebih menerima dirinya sendiri secara apa adanya. Sebaliknya, konsep diri negatif akan membuat seseorang merasa bahwa dirinya tidak cukup berharga dibandingkan orang lain. Konsep diri yang stabil akan membantu remaja dalam memandang dirinya secara konsisten sehingga memperkecil perasaan bahwa ia tidak mampu sekaligus meningkatkan harga diri. Kesempatan mengenyam pendidikan, mendapatkan pengetahuan, mengasah keterampilan, serta dukungan bagi remaja perempuan merupakan suatu proses untuk dapat mengaktualisasikan diri secara optimal.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dirangkum Wulansari (2010), kita dapat menggarisbawahi tentang beberapa faktor penyebab munculnya Cinderella Complex selain faktor konsep diri. Faktor-faktor tersebut diantaranya; agama, media pendidikan formal, sosial budaya masyarakat, serta pola asuh. Budaya patriarkis cukup memberikan kontribusi dalam kecederungan ini. Sebagai contoh, pada budaya Jawa, perempuan dianggap sebagai kelompok inferior. Hal ini bisa menyebabkan seorang perempuan memiliki konsep dirinya rendah dan merasa tidak berharga. Kabar baiknya, pada perkembangannya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai kekuatan yang saling melengkapi dan memungkinkan terbentuknya hubungan serasi dalam rangka membangun masyarakat yang sakiyeg sakeka kapti (manusia yang memiliki kesamaan tanggung jawab).

Bagaimana Pola Asuh yang Menjadi Penyebab Cinderella Complex?
Bayi perempuan cenderung memiliki perilaku yang lebih menyenangkan dibandingkan bayi laki-laki. Hal ini membuat orang dewasa cenderung memberikan perlindungan dan pertolongan ekstra pada anak perempuan. Anak perempuan ini menjadi terbiasa dengan mindset akan ada pertolongan jika ‘berperilaku baik’. Akhirnya anak perempuan cenderung mengembangkan bakat dan kemampuan dirinya demi orang lain, bukan untuk kemajuan dirinya sendiri.

Perlu adanya persamaan dalam memperlakukan anak laki-laki dan perempuan terkait ‘hukuman’ yang harus mereka terima ketika melakukan kesalahan. Mendidik anak untuk tidak bersikap manja dan berusaha mengatasi masalah dapat membuat anak perempuan lebih mandiri dan tidak tergantung pada orang lain.

Kebutuhan kasih sayang anak yang kurang terpenuhi ketika mereka kecil, dapat menyebabkan anak perempuan menjadi ketergantungan. Mereka tergantung akan rasa aman dan kasih sayang dari orang lain. Perilaku ini mendorong seorang perempuan untuk merendahkan diri di hadapan orang lain demi memperoleh rasa aman dan dicintai.
Perilaku orang tua yang mendominasi juga bisa menjadi penyebab anak perempuan tidak bisa membuat keputusan sendiri, sehingga mereka selalu tergantung pada orang lain dalam membuat keputusan.

Bagaimana Lingkungan yang Menjadi Penyebab Cinderella Complex?
Munculnya anggapan bahwa wanita adalah makhluk yang lemah, sehingga lingkungan cenderung memberikan pertolongan dan perlindungan berleebihan pada perempuan.
Stereotipe wanita sebagai kaum kelas dua dalam masyarakat. Sebagai contoh, budaya patriarki mengharuskan seorang perempuan untuk mengikuti keputusan ayah atau suaminya.

Anggapan bahwa kemandirian sebagai perilaku tidak feminim. Misalnya, wanita dianggap tidak feminim ketika memperbaiki atap bocor, memasang lampu, dan sebagainya.

Padma, Astrida. 2007. Perbedaan Cinderella Complex pada Wanita Menikah yang Bekerja dan Tidak Bekerja. Skripsi: Universitas Sanata Dharma
Wulansari, Sapti. 2010. Hubungan antara Konsep Diri dengan Kecenderungan Cinderella Complex. Ringkasan Skripsi: Universitas Diponegoro

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Rumahku Madrasah Pertamaku"

Judul Buku : Rumahku Madrasah Pertamaku (Panduan Keluarga Muslim dalam Mendidik Anak) Penulis : Dr. Khalid Ahmad Syantut Penerbit : Maskana Media (Imprint Pustaka Rumah Main Anak) Cetakan : kedua, Januari 2019 Jumlah Halaman : 184 halaman Pertama kali melihat iklan masa PO buku ini, saya langsung tertarik untuk memesannya. Saya memang senantiasa tertarik pada buku parenting . Ketidaksempurnaan dalam diri saya membuat saya ingin terus memperbaiki supaya kelak saya bisa mendidik anak-anak sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul inginkan. Setelah menunggu selama kurang lebih dua minggu, akhirnya buku ini berada di pelukan saya. Desain dan layout buku yang menarik membuat saya ingin segera membacanya. Kemudian, saya bacalah buku ini, mengalahkan tumpukan buku lain yang belum sempat terbaca. "Rumahku Madrasah Pertamaku" begitulah judul buku ini. Sesuai dengan judulnya, buku ini mengingatkan saya kembali tentang betapa berpengaruhnya lingkungan rumah terhadap karakter a...

Review: Smart Hafiz Mempersiapkan Si Kecil Anti Smartphone

Akhir-akhir ini sering saya lihat anak-anak sudah susah terlepas dari gawai. Gawai yang mereka pakai biasanya jenis smartphone. Tak hanya anak-anak, balita bahkan batita juga sering saya lihat mulai menggunakan barang elektronik ini. Bagi saya, hal tersebut kurang mendidik. Anak-anak terutama balita seharusnya bermain untuk melatih kemampuan motorik mereka. Anak-anak yang lebih besar seharusnya bisa membangun interaksi dengan teman sebaya maupun orang di sekitarnya, bukan bersifat antisosial. Nah., latihan kemampuan motorik dan membangun kemampuan sosial ini yang tidak ditemukan dalam smartphone. Anak-anak cenderung pasif ketika menggunakan sartphone. Apalagi jika smartphone tersebut terhubung dengan internet. Anak usia 3 tahun pun bisa mengakses Youtube dan berselancar mencari video-video yang disukainya. Jika sudah terlanjur demikian, anak akan susah disapih dari benda bernama smartphone ini. Ketika kita ingin menyapih anak dari smartphone tantangannya lebih besar dibanding...

Pojok Bermain Lula

Bermain menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari masa kanak-kanak termasuk usia bayi. Bermain dibutuhkan anak-anak sebagai sarana eksplorasi sekaligus sebagai sarana bermain peran. Melalui bermain, anak-anak bisa mengeksplorasi lingkungan sekitarnya. Ia bisa mengenal berbagai bentuk benda, warna, halus kasar, besar kecil, dan sebagainya. Ketika ia memainkan sesuatu, ia berarti melihat dan memegang lebih dekat apa yang anak tersebut mainkan. Demikian pula dengan bermain peran. Dalam kegiatan bermain, kadang anak berperan seolah-olah menjadi penjual, ibu, dokter, pembeli, guru, atau pekerjaan lainnya. Peran yang dimainkan anak-anak bisa membantu memperkaya kosa kata yang dimilikinya. Apakah terdapat hubungan antara bermain dan mendidik? Menurutku bermain erat kaitannya dengan mendidik terutama bagi anak-anak di usia balita. Ketika bermain, ia sekaligus dapat belajar banyak hal. Misalnya, dalam permainan kubus meraba untuk bayi usia 6 bulan. Ketika bermain kubus meraba, bayi dapa...