Langsung ke konten utama

Menghindari Feeling Blue


Di hari keenam ini, proyek keluarga kami tidak berjalan sesuai rencana. Suami pulang kerja lebih sore daripada biasanya dan raut mukanya sudah menunjukkan kelelahan yang sangat. Sebenarnya saya paling BT ketika suami pulang dalam keadaan lemas, karena apa saja yang saya katakan responnya akan sekenanya atau singkat-singkat. Padahal saya butuh mengeluarkan puluhan ribu kata setiap hari. Pun demikian, saya juga tidak bisa menyalahkan suami, karena ia sudah bekerja dari pagi hingga sore dan menempuh perjalanan puluhan kilometer.

Menerapkan Hasil Introspeksi Diri
Beberapa hari yang lalu, saya berhasil introspeksi diri salah satunya saya harus menghindarkan ego. Dalam rangka meningkatkan kecerdasan emosional diri, saya mencoba untuk tidak membalas muka lelah suami dengan mimik kurang ceria. Saya juga mencoba menawarkan bantuan untuk membuatnya lebih baik, atau setidaknya lelahnya sedikit berkurang. Menjelang magrib, suami masih merespon saya dengan cukup baik, artinya tidak sekenanya menanggapi pernyataan dan cerita saya.
Bakda Isya, suami sudah menunjukkan kelelahannya ditambah wajah mengantuknya mulai terlihat. Duh.. saya cemas, ini artinya suami butuh tidur lebih awal dan saya tidak punya banyak waktu untuk diskusi. Di tengah capek dan pegal-pegal yang dirasakannya, ia masih sempat memaksa saya makan buah dan membacakan cerita untuk adek. Ah.. Saya jadi membayangkan apa yang dirasakan suami malam itu. Seharian ini tentu dilalui dengan tidak mudah. Oleh karena itu, saya sangat berusaha menghindari feeling blue supaya suami tetap merasa nyaman.

Beberapa minggu yang lalu sempat berada dalam kondisi yang sama, suami capek dan banyak pikiran, sementara saya merasa diabaikan. Tanggapan suami yang sekenanya, membuat saya feeling blue dan malah mendiamkan suami. Diperlakukan demikian, suami membalas saya dengan diam pula. Alhasil, saya yang capek sendiri dan nangis-nangis minta dipeluk suami. Untuk menghindari hal itu, saat ini saya sebisa mungkin lebih bijaksana. Masa akan berperilaku sama, padahal sudah belajar kecerdasan emosional? Hehehe...

Dengan tetap memasang muka ceria, sekaligus menawarkan bantuan untuk pijat pegal-pegal ternyata berdampak baik bagi suami. Ia menanggapi saya dengan baik, walaupun pillow talk kami menjadi sangat sebentar dan tidak ada pembicaraan berarti. Tetapi hal itu cukup menjadi pembelajaran bagi saya dalam mengelola emosi. Salah ekspresi di waktu yang tidak tepat justru akan menimbulkan masalah. Dengan pengelolaan emosi yang baik tentu akan menguntungkan kedua belah pihak. Pihak suami, bisa terpenuhi waktu istirahatnya dengan tenang. Pihak saya, hati lebih plong karena tidak memendam kesal. Jadi kita berdua sama-sama dalam kondisi nyaman, walaupun fisik terasa lelah. Hal sekecil ini ternyata bisa juga untuk sarana belajar. J

#tantangan_hari_ke_6
#kelasbunsayiip3
#game_level_3

#kami_bisa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Rumahku Madrasah Pertamaku"

Judul Buku : Rumahku Madrasah Pertamaku (Panduan Keluarga Muslim dalam Mendidik Anak) Penulis : Dr. Khalid Ahmad Syantut Penerbit : Maskana Media (Imprint Pustaka Rumah Main Anak) Cetakan : kedua, Januari 2019 Jumlah Halaman : 184 halaman Pertama kali melihat iklan masa PO buku ini, saya langsung tertarik untuk memesannya. Saya memang senantiasa tertarik pada buku parenting . Ketidaksempurnaan dalam diri saya membuat saya ingin terus memperbaiki supaya kelak saya bisa mendidik anak-anak sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul inginkan. Setelah menunggu selama kurang lebih dua minggu, akhirnya buku ini berada di pelukan saya. Desain dan layout buku yang menarik membuat saya ingin segera membacanya. Kemudian, saya bacalah buku ini, mengalahkan tumpukan buku lain yang belum sempat terbaca. "Rumahku Madrasah Pertamaku" begitulah judul buku ini. Sesuai dengan judulnya, buku ini mengingatkan saya kembali tentang betapa berpengaruhnya lingkungan rumah terhadap karakter a...

Review: Smart Hafiz Mempersiapkan Si Kecil Anti Smartphone

Akhir-akhir ini sering saya lihat anak-anak sudah susah terlepas dari gawai. Gawai yang mereka pakai biasanya jenis smartphone. Tak hanya anak-anak, balita bahkan batita juga sering saya lihat mulai menggunakan barang elektronik ini. Bagi saya, hal tersebut kurang mendidik. Anak-anak terutama balita seharusnya bermain untuk melatih kemampuan motorik mereka. Anak-anak yang lebih besar seharusnya bisa membangun interaksi dengan teman sebaya maupun orang di sekitarnya, bukan bersifat antisosial. Nah., latihan kemampuan motorik dan membangun kemampuan sosial ini yang tidak ditemukan dalam smartphone. Anak-anak cenderung pasif ketika menggunakan sartphone. Apalagi jika smartphone tersebut terhubung dengan internet. Anak usia 3 tahun pun bisa mengakses Youtube dan berselancar mencari video-video yang disukainya. Jika sudah terlanjur demikian, anak akan susah disapih dari benda bernama smartphone ini. Ketika kita ingin menyapih anak dari smartphone tantangannya lebih besar dibanding...

Pojok Bermain Lula

Bermain menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari masa kanak-kanak termasuk usia bayi. Bermain dibutuhkan anak-anak sebagai sarana eksplorasi sekaligus sebagai sarana bermain peran. Melalui bermain, anak-anak bisa mengeksplorasi lingkungan sekitarnya. Ia bisa mengenal berbagai bentuk benda, warna, halus kasar, besar kecil, dan sebagainya. Ketika ia memainkan sesuatu, ia berarti melihat dan memegang lebih dekat apa yang anak tersebut mainkan. Demikian pula dengan bermain peran. Dalam kegiatan bermain, kadang anak berperan seolah-olah menjadi penjual, ibu, dokter, pembeli, guru, atau pekerjaan lainnya. Peran yang dimainkan anak-anak bisa membantu memperkaya kosa kata yang dimilikinya. Apakah terdapat hubungan antara bermain dan mendidik? Menurutku bermain erat kaitannya dengan mendidik terutama bagi anak-anak di usia balita. Ketika bermain, ia sekaligus dapat belajar banyak hal. Misalnya, dalam permainan kubus meraba untuk bayi usia 6 bulan. Ketika bermain kubus meraba, bayi dapa...